Penulis : Reyhan Prakoso Sakti*

Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi generasi muda yang dikenal sebagai Gen Z. Lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, Gen Z adalah generasi pertama yang tumbuh dengan teknologi digital di ujung jari mereka. Media sosial seperti Instagram, TikTok, Snapchat, dan Twitter tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga sarana ekspresi diri, hiburan, dan pembelajaran. Kehadiran media sosial ini telah mengubah cara mereka berinteraksi dengan dunia, membuka peluang baru untuk berkarya, tetapi juga menciptakan tantangan yang kompleks. Dari membangun identitas diri hingga mencari validasi sosial, media sosial memainkan peran besar dalam membentuk pandangan hidup dan perilaku generasi ini. Dengan berbagai peluang yang ditawarkan, penting untuk memahami bagaimana media sosial memengaruhi kehidupan Gen Z secara menyeluruh.

Media Sosial dan Kreativitas Gen Z

Salah satu dampak positif media sosial adalah meningkatnya kreativitas di kalangan Gen Z. Platform seperti TikTok dan Instagram memungkinkan pengguna untuk membuat konten yang menarik, mulai dari video pendek, ilustrasi, hingga kampanye sosial. Kemudahan akses ke alat editing dan distribusi konten telah mendorong banyak anak muda untuk menggali potensi kreatif mereka.

Sebagai contoh, banyak remaja yang berhasil menciptakan tren global melalui tarian, tantangan, atau meme yang viral. Beberapa bahkan menjadikan kreativitas mereka sebagai sumber penghasilan, dengan menjadi kreator konten profesional. Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Pew Research Center, hampir 55% remaja Gen Z menganggap media sosial sebagai alat untuk mengekspresikan diri mereka secara kreatif.

Selain itu, media sosial juga menjadi wadah kolaborasi. Anak muda dari berbagai belahan dunia dapat bekerja sama dalam proyek seni, musik, atau kampanye lingkungan tanpa harus bertemu langsung. Hal ini membuka peluang bagi mereka untuk belajar dan berkembang, memperluas wawasan, serta menghubungkan ide-ide dari berbagai budaya.

Namun, ada sisi lain dari kreativitas ini yang jarang dibahas. Tekanan untuk selalu menciptakan konten baru dapat menjadi beban tersendiri. Banyak kreator muda yang merasa harus terus menghasilkan karya demi mempertahankan relevansi atau popularitas mereka. Dalam beberapa kasus, hal ini dapat menyebabkan burnout, di mana seseorang merasa lelah secara fisik dan mental akibat tekanan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, penting bagi para kreator untuk memahami batasan mereka dan menjaga keseimbangan antara kreativitas dan kesehatan pribadi.

Pengaruh Media Sosial terhadap Kesehatan Mental

Meskipun memberikan banyak manfaat, media sosial juga memiliki sisi gelap yang dapat memengaruhi kesehatan mental Gen Z. Salah satu dampaknya adalah tekanan untuk selalu tampil sempurna. Media sosial sering kali menampilkan versi ideal dari kehidupan seseorang, yang dapat menyebabkan perasaan tidak cukup baik atau rendah diri.

Studi dari Journal of Adolescence pada tahun 2023 menemukan bahwa 60% remaja merasa tertekan untuk mencapai standar kecantikan atau gaya hidup yang mereka lihat di media sosial. Tekanan ini dapat memicu masalah seperti kecemasan, depresi, hingga gangguan makan. Selain itu, penggunaan media sosial yang berlebihan sering dikaitkan dengan gangguan tidur, yang berdampak pada konsentrasi dan performa akademik.

Cyberbullying juga menjadi masalah serius. Menurut data dari National Center for Education Statistics, sekitar 37% remaja pernah mengalami perundungan daring. Dampaknya dapat berupa penurunan rasa percaya diri, stres, dan bahkan keinginan untuk mengisolasi diri. Lebih dari itu, cyberbullying sering kali meninggalkan bekas emosional yang mendalam, yang memerlukan waktu lama untuk disembuhkan.

Fenomena FOMO (“fear of missing out”) juga menjadi faktor lain yang memengaruhi kesehatan mental. Ketika remaja melihat teman-teman mereka bersenang-senang di acara atau liburan tertentu melalui media sosial, mereka sering merasa tertinggal atau tidak cukup berharga. Perasaan ini dapat memperburuk kondisi emosional mereka dan membuat mereka semakin terjebak dalam lingkaran penggunaan media sosial yang tidak sehat.

Ketergantungan pada Media Sosial

Ketergantungan pada media sosial menjadi isu lain yang memengaruhi keseimbangan kehidupan Gen Z. Banyak remaja yang merasa sulit untuk melepaskan diri dari gawai mereka, bahkan ketika itu mengganggu aktivitas sehari-hari. Fenomena ini dikenal sebagai “fear of missing out” (FOMO), yaitu rasa takut ketinggalan informasi atau tren terbaru.

Kondisi ini dapat memengaruhi produktivitas dan hubungan sosial di dunia nyata. Remaja yang terlalu sering menggunakan media sosial cenderung mengalami isolasi sosial, karena interaksi mereka lebih banyak terjadi secara daring daripada tatap muka. Hal ini juga dapat mengurangi keterampilan komunikasi interpersonal, yang penting untuk kehidupan dewasa.

Selain itu, algoritma yang dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna dapat memperparah ketergantungan ini. Notifikasi terus-menerus, konten yang dipersonalisasi, dan desain antarmuka yang adiktif membuat remaja sulit untuk melepaskan diri. Akibatnya, waktu yang dihabiskan untuk media sosial sering kali mengorbankan aktivitas lain yang lebih bermanfaat, seperti olahraga, membaca, atau bahkan tidur yang cukup.

Upaya untuk Mengatasi Dampak Negatif

Untuk meminimalkan dampak negatif media sosial, diperlukan langkah-langkah yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari individu hingga institusi pendidikan dan pemerintah. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil:

1. Meningkatkan Literasi Digital:

Edukasi tentang penggunaan media sosial yang sehat perlu ditanamkan sejak dini. Anak muda harus diajarkan untuk memahami konten yang mereka konsumsi, serta bagaimana memilah informasi yang akurat dari yang palsu.

2. Mengelola Waktu Layar:

Penggunaan aplikasi pengelola waktu layar, seperti fitur bawaan di ponsel pintar, dapat membantu remaja mengontrol waktu mereka di media sosial. Orang tua dan guru juga dapat mendorong aktivitas offline yang menyenangkan, seperti olahraga atau seni.

3. Menekankan Keseimbangan Hidup:

Remaja perlu diajarkan pentingnya keseimbangan antara dunia daring dan kehidupan nyata. Menghabiskan waktu bersama keluarga, teman, atau di alam terbuka dapat membantu mengurangi ketergantungan pada media sosial.

4. Menyediakan Dukungan Psikologis:

Layanan konseling di sekolah atau komunitas dapat menjadi tempat bagi remaja untuk berbicara tentang masalah yang mereka hadapi. Pemerintah dan organisasi sosial juga dapat menyediakan program yang mendukung kesehatan mental anak muda.

5. Mengawasi Perundungan Daring:

Platform media sosial harus memiliki kebijakan yang tegas terhadap perundungan daring, termasuk mekanisme pelaporan yang efektif. Pengguna juga harus diberdayakan untuk melaporkan atau memblokir akun yang melakukan pelecehan.

Penutup

Media sosial adalah pedang bermata dua bagi Gen Z. Di satu sisi, platform ini mendorong kreativitas, memberikan peluang baru, dan memperluas jejaring sosial mereka. Di sisi lain, media sosial juga menghadirkan tantangan serius bagi kesehatan mental dan keseimbangan hidup.

Untuk memastikan bahwa media sosial membawa lebih banyak manfaat daripada kerugian, diperlukan kesadaran dan tindakan bersama dari individu, keluarga, komunitas, dan penyedia platform. Dengan pendekatan yang tepat, media sosial dapat menjadi alat yang memperkaya kehidupan Gen Z tanpa mengorbankan kesehatan mental mereka.

* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya