Penulis : Celia Angelyn*
Dalam sistem hukum modern, perlindungan konsumen bukan sekadar isu ekonomi, melainkan bagian penting dari penegakan keadilan sosial. Konsumen sebagai pihak yang paling rentan dalam rantai perdagangan sering kali berada dalam posisi tidak seimbang dibandingkan pelaku usaha. Ketimpangan informasi, kekuasaan ekonomi, dan akses terhadap keadilan membuat konsumen membutuhkan intervensi hukum yang tegas dan berpihak.
Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang menjadi dasar hukum bagi hak-hak konsumen. Undang-undang ini menjamin sejumlah hak penting, seperti hak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan informasi yang benar. Namun dalam praktiknya, tidak sedikit kasus di mana konsumen justru menjadi korban praktik curang, produk cacat, iklan menyesatkan, hingga layanan yang tidak profesional.
Ketimpangan Relasi dan Tanggung Jawab Negara
Dalam realitas pasar, pelaku usaha memiliki kontrol yang besar terhadap produk dan layanan. Konsumen tidak punya banyak pilihan selain menerima informasi dan janji yang disampaikan oleh produsen atau penjual. Inilah sebabnya hukum harus hadir sebagai alat koreksi sosial. Negara melalui regulasi dan penegak hukum perlu memastikan bahwa konsumen tidak hanya dilindungi di atas kertas, tetapi juga dalam praktik nyata.
Perlindungan konsumen tidak bisa dipisahkan dari semangat keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, terutama sila ke-5 Pancasila. Ketika konsumen dilindungi dari eksploitasi, ketidakjujuran, dan praktik curang, maka negara sedang menjalankan fungsi dasarnya: menjamin keseimbangan dan keadilan antarwarga negara, termasuk dalam hubungan ekonomi.
Tantangan Implementasi
Meski regulasi sudah ada, tantangan utama saat ini adalah lemahnya penegakan hukum dan minimnya kesadaran konsumen. Banyak korban penipuan online, produk gagal, atau layanan merugikan, memilih diam karena tidak tahu cara melapor atau pesimis terhadap hasilnya. Di sisi lain, lembaga pengawasan seperti Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) masih menghadapi keterbatasan sumber daya dan kewenangan.
Selain itu, tantangan global seperti ekonomi digital dan e-commerce menghadirkan medan baru yang belum sepenuhnya diatur secara komprehensif dalam hukum perlindungan konsumen yang ada sekarang. Produk lintas negara, transaksi daring, dan pelaku usaha asing menciptakan celah hukum yang rawan dimanfaatkan.
Edukasi dan Reformasi
Perlindungan konsumen hanya akan efektif jika dilakukan secara menyeluruh. Edukasi hukum kepada masyarakat perlu digalakkan agar konsumen sadar hak dan tahu cara menuntutnya. Pemerintah juga perlu mereformasi kebijakan, terutama untuk menjawab tantangan era digital dan memperkuat lembaga pengawasan.
Yang tak kalah penting, pelaku usaha harus dipacu untuk menjalankan tanggung jawab sosial (CSR) dengan menempatkan kepentingan konsumen sebagai bagian dari etika bisnis.
Penutup
Perlindungan konsumen bukan semata-mata soal ganti rugi, tapi tentang memanusiakan konsumen dalam struktur pasar yang adil. Dalam konteks Indonesia, ia adalah wujud nyata dari implementasi nilai-nilai keadilan sosial. Negara harus hadir bukan hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai pelindung rakyatnya, termasuk ketika mereka berperan sebagai konsumen
***
*) Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Surabaya
**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi radarbaru.com