Penulis: Wulan Saumi Fajriah*
Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki potensi besar untuk menghasilkan berbagai makanan lokal yang bergizi dan sehat. Namun, pola konsumsi masyarakat Indonesia masih bergantung pada beras dan terigu sebagai makanan pokok, yang menyebabkan ketidakseimbangan nutrisi dan mengancam keberlanjutan pangan.
Di Indonesia, beras telah menjadi simbol makanan pokok. Bagi sebagian besar orang, makanan tidak lengkap jika tidak ada nasi. Di sisi lain, konsumsi terigu, yang banyak digunakan dalam berbagai produk olahan seperti mie instan, roti, dan kue, meningkat karena mudah didapat dan praktis. Kedua bahan pangan ini memiliki kelemahan besar, terutama jika dimakan terlalu banyak.
Dibandingkan dengan pangan lokal lain seperti ubi jalar, jagung, atau singkong, beras memiliki kandungan serat dan mikronutrien yang lebih rendah dibandingkan dengan beras, meskipun kaya karbohidrat. Pengolahan terigu, yang sebagian besar diimpor, sering kali menghilangkan nutrisi penting, sehingga hanya menyisakan karbohidrat sederhana, yang meningkatkan risiko obesitas dan diabetes.
Pola konsumsi yang monoton seperti ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan gizi; namun, ketergantungan terhadap beras dan terigu sering kali menyingkirkan keberagaman makanan lokal lain yang sebenarnya kaya nutrisi. Sebagai contoh, mengonsumsi beras terlalu banyak dapat menyebabkan kekurangan serat, vitamin, dan mineral yang diperlukan tubuh.
Makanan lokal seperti singkong, sagu, dan ubi jalar penuh dengan serat, vitamin, dan mineral yang penting untuk kesehatan. Tidak hanya mengubah beras atau terigu menjadi makanan lain, diversifikasi pangan juga meningkatkan pola makan masyarakat dengan memberi mereka protein, lemak sehat, dan fitonutrien yang berasal dari bahan pangan lokal lainnya. Selain itu, ketergantungan pada beras dan terigu memiliki dampak yang signifikan terhadap ketahanan pangan. Produksi beras dalam negeri sering menghadapi kendala yang disebabkan oleh hama, bencana alam, dan perubahan iklim; namun, produksi terigu sebagian besar bergantung pada impor. Jika rantai pasokan global terganggu, suplai terigu dapat terputus, menyebabkan Indonesia menghadapi krisis pangan.
Pemerintah telah berusaha mendorong konsumsi pangan lokal melalui berbagai program, tetapi upaya ini seringkali tidak efektif karena banyak masyarakat masih belum menyadari pentingnya diversifikasi pangan untuk kesehatan dan ketahanan pangan. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dan terigu, beberapa tindakan yang dapat dilakukan adalah:
1. Edukasi Masyarakat: Manfaat pangan lokal memerlukan lebih banyak kampanye. Pendidikan tentang pentingnya pola makan beragam dan sehat sejak dini dapat sangat penting untuk perubahan perilaku.
2. Promosi Pangan Lokal: Produksi dan pemasaran produk pangan lokal yang masuk akal dan menarik harus didorong oleh pemerintah dan pelaku usaha.
3. Kebijakan Subsidi dan Insentif: Mensubsidi produk berbahan dasar pangan lokal dan mendorong petani untuk menanam komoditas lokal seperti sagu, jagung, dan ubi.
4. Innovasi Produk Pangan Lokal: Industri pangan harus mengembangkan produk olahan berbasis bahan pangan lokal yang dapat bersaing dengan produk berbasis terigu.
Pola konsumsi masyarakat Indonesia yang bergantung pada beras dan terigu merupakan tantangan besar bagi kesehatan dan ketahanan pangan. Untuk mengatasi masalah ini, diversifikasi pangan harus menjadi prioritas melalui pendekatan edukasi, promosi, kebijakan, dan inovasi. Dengan memanfaatkan kekayaan pangan lokal yang dimilikinya, Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan kesehatan masyarakatnya tetapi juga dapat mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Pemerintah, bisnis, dan masyarakat harus bekerja sama untuk mengubah pola konsumsi ini. Indonesia memiliki peluang besar untuk keluar dari ketergantungan pangan yang tidak sehat dan mencapai kemandirian pangan yang sebenarnya jika ini dilakukan secara konsisten.
* Mahasiswa Ilmu Komunikasi 5E Universitas Sultan Ageng Tirtayasa