Penulis: Salsabillah*
Setiap manusia diciptakan dengan keunikan masing-masing, baik dalam bentuk fisik maupun kemampuan lainnya. Kondisi fisik yang berbeda, seperti gangguan pada panca indera, tidak selalu menjadi hambatan untuk berkembang, karena setiap individu memiliki potensi dan kelebihan tersendiri. Salah satu bentuk perbedaan fisik tersebut adalah gangguan pendengaran, yang dikenal sebagai tunarungu. Nah, yuk kita bahas lebih dalam tentang apa itu tunarungu, penyebabnya, hingga bagaimana dampaknya dalam kehidupan sehari-hari.
Apa Itu Tunarungu?
Tunarungu adalah kondisi di mana seseorang mengalami ketidakmampuan mendengar sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Menurut Moores (dalam Hallahan & Kauffman, 2006), tunarungu merujuk pada ketidakmampuan individu dalam mendengar suara atau bunyi-bunyian, baik dalam frekuensi maupun intensitas, yang kemudian berdampak pada kemampuan bicara dan pemrosesan informasi melalui pendengaran.
Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, pertama tuli (deaf) yaitu ketidakmampuan mendengar sama sekali, meskipun dengan alat bantu. Kedua yaitu kurang dengar (hard of hearing), kondisi masih bisa mendengar, namun dengan alat bantu tertentu (Hallahan & Kauffman, 2006).
Gangguan pendengaran nggak melulu berarti “tidak bisa mendengar sama sekali.” Ada beberapa tingkatan tunarungu yang diukur dalam desibel (dB), yaitu tunaeungu ringan (20-30 dB). Orang-orang dengan kehilangan pendengaran sebesar ini mampu berkomunikasi dengan menggunakan pendengarannya. Marginal (30-40 dB). Pada kelompok ini, orang- orang masih bisa menggunakan telinganya untuk mendengar, namun harus dilatih. Sedang (40-60 dB). Dengan bantuan alat bantu dengar dan bantuan mata, orang-orang ini masih bisa belajar berbicara dengan mengandalkan alat-alat pendengaran. Berat (60-75 dB). Pada gangguan ini mereka sudah dianggap sebagai tuli secara edukatif. Mereka berada pada ambang batas antara sulit mendengar dengan tuli. Parah (>75 dB). Orang-orang dalam kelompok ini tidak bisa belajar bahasa hanya semata-mata dengan mengandalkan telinga, meskipun didukung dengan alat bantu dengar sekalipun.
Apa Saja Penyebab Tunarungu?
Kelainan tunarungu atau ketulian dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor genetik maupun non-genetik (Wulandari, dkk., 2023). Beberapa penyebab kelainan tunarungu antara lain:
- Faktor genetik: Beberapa jenis kelainan genetik yang dapat menyebabkan ketulian antara lain sindrom Waardenburg, sindrom Pendred, sindrom Usher, dan sindrom Alport.
- Faktor prenatal: Kelainan tunarungu dapat terjadi pada janin yang masih dalam kandungan akibat infeksi pada ibu hamil, seperti rubella atau sitomegalovirus, penggunaan obat-obatan tertentu pada masa kehamilan, dan konsumsi alkohol.
- Faktor perinatal: Kelainan tunarungu dapat terjadi pada bayi yang lahir prematur, berat badan rendah, atau mengalami trauma saat proses persalinan, seperti kekurangan oksigen pada otak.
- Faktor postnatal: Kelainan tunarungu dapat disebabkan oleh infeksi telinga atau gangguan lain yang terjadi setelah bayi lahir, paparan suara bising yang berlebihan, penggunaan obat-obatan tertentu, dan cedera kepala yang parah.
Dampak Tunarungu dalam Kehidupan
Seberapa jauh dampak ketunaan terhadap pendidikan anak sangat dipengaruhi oleh hakekat kerusakan secara kualitatif, derajat ketunaan dan saat terjadinya. Di bawah ini akan di bahas satu persatu mengenai dampak ketunarunguan:
- Perkembangan Bahasa: Anak tunarungu, terutama yang mengalami ketulian sejak lahir (prelingual), kesulitan berbicara meski menjalani terapi. Mereka cenderung memiliki struktur bahasa yang lebih sederhana, baik lisan maupun tulisan. Gangguan bicara muncul karena sulit membedakan nada, menghasilkan suara, serta memahami konten dan struktur bahasa.
- Perkembangan Intelektual dan Prestasi Akademik: Secara umum, kemampuan intelektual anak tunarungu setara dengan anak normal jika diuji menggunakan tes nonverbal. Namun, keterlambatan penguasaan bahasa memengaruhi pembentukan konsep dan prestasi akademik, terutama dalam membaca dan menulis. Anak tunarungu dengan orang tua tunarungu cenderung memiliki kemampuan bahasa dan prestasi membaca yang lebih baik karena penggunaan bahasa isyarat sejak dini.
- Perkembangan Sosial dan Emosional: Kesulitan berkomunikasi membuat anak tunarungu rentan mengalami kesepian, frustrasi, dan kesulitan memahami emosi orang lain. Hal ini berdampak pada konsep diri dan penyesuaian sosial. Mereka sering kali lebih nyaman berinteraksi dengan sesama tunarungu, membentuk komunitas tersendiri (deaf culture). Kurangnya komunikasi yang efektif dalam keluarga juga bisa menimbulkan stres, baik bagi anak maupun orang tua.
Referensi
- Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid Pertama. Depok: LPSP3 Kampus UI
- Wulandari, A. L., Zulfadilla, I., Afdal, A., Fatmawati, F., & Febria, R. (2023). Kajian Psikolinguistik: Gangguan Berbahasa Tokoh Angel dalam Film Sebuah Lagu untuk Tuhan. Sajak: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Sastra, Bahasa, dan Pendidikan, 2 (2), 12-19.
***
*) Penulis adalah Mahasiswa Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi radarbaru.com