Penulis : Zahra Haaniyah

Emosi seseorang seringkali dituangkan ke dalam lembaran kertas. Memori tersebut membekas dalam halaman-halaman buku harian. Kemudian tumpukan kenangan tersebut kerap disembunyikan di bawah ranjang, berharap pada tuan pemimpi dalam bentuk ketakutan, perjuangan, penghakiman atau hukuman.

Kertas diibaratkan sebagai transportasi antara emosi dan logika. Bagaimana fisik tersebut dibekukan menjadi surat terbuka. Rasanya mungkin menyenangkan untuk mengeluarkan semua pikiran dan perasaan itu dari kepala kemudian menuliskannya di atas kertas. Seakan-akan dunia tampak lebih jelas.

Berangkat dari emosi tersebut, nostalgia membuat seseorang membuka lembaran dan membacanya kembali. Namun pada titik tertentu, sebagian orang telah menggeser kebiasaan menulisnya ke dalam bentuk yang lebih praktis dan tak terbatas. Dimana perasaan lebih mudah diutarakan dengan kata-kata implisit. Disitulah mulai terdapat transisi kebiasaan proses pertukaran emosi.

Beberapa dari kalian mungkin telah berhenti menggunakan buku harian dan menjadikan seseorang sebagai tumpuan bercerita. Namun, apa konsep dan manfaat tutur kata apabila perasaan tersebut tidak dapat dimaknai sama kepada si pendengar? Bagaimana menuliskan kata-kata tanpa benar-benar mengatakannya? Salah satu cara mengendalikan emosi tersebut adalah melalui musik.

Sebagai media ekspresi diri dan komunikasi, musik memberikan kebebasan bagi seseorang untuk memproses berbagai perasaan yang timbul dengan cara yang berbeda. Sebuah “coping mechanism” terhadap emosi dengan menciptakan ruang baru yang aman untuk diri sendiri. Bentuk media yang memungkinkan komunikasi perasaan terjalin kompleks ketika terasa sulit untuk diartikulasikan secara verbal.

Musik berperan sebagai introspeksi dalam memahami kata “mengapa” di balik tindakan dan reaksi atas dasar perlakuan seseorang. Mencari tahu mengapa emosi dan api pemicu terhadap permasalahan yang ada itu timbul. Bukankah suatu hidup selalu mengingatkan pada momen dan satu spesifik lagu tertentu? Lantas, mengapa tidak mengumpulkannya menjadi satu kesatuan untuk membawa kembali memori tersebut?

Menyusun playlist musik telah menjadi aktivitas umum di era digital. Berbagai platform musik kini mempermudah pengguna untuk menciptakan playlist, menghasilkan variasi jenis yang tak terbatas. Lebih dari itu, menyusun playlist seringkali memiliki kedalaman emosional yang sebanding dengan menulis surat terbuka.

Dalam prosesnya, kita memilih lagu-lagu tertentu yang mencerminkan perasaan, pengalaman, dan pemikiran kita—mirip dengan menulis surat terbuka untuk orang lain atau bahkan diri sendiri. Playlist, seperti surat terbuka, merupakan sebuah media komunikasi tak langsung yang mampu menyampaikan pesan mendalam. Menyusun playlist memungkinkan kita mengekspresikan makna tanpa kata-kata eksplisit, menghadirkan pesan yang tersirat namun jauh lebih kuat.

Selain itu, menyusun playlist untuk seseorang tidak selalu berhubungan dengan romansa. Seperti halnya menulis surat terbuka, playlist tidak terbatas pada tema tertentu. Kita memegang kendali atas bagaimana pendengar memposisikan dirinya dalam memahami pesan yang ingin disampaikan. Selain itu, playlist tidak selalu ditujukan untuk orang lain; sering kali, ia menjadi cerminan perasaan terdalam kita sendiri. Menyusun playlist untuk diri sendiri adalah bentuk refleksi dan introspeksi yang halus, karena musik memiliki kekuatan untuk mempengaruhi suasana hati. Pesan dapat beresonansi pada tingkatan yang lebih dalam daripada yang dapat dilakukan dengan kata-kata.

Menurut Rob (diperankan oleh Zoe Kravitz) dalam film High Fidelity karya Hulu terdapat aturan tersendiri untuk menyusun playlist yang sempurna, diantaranya harus menghibur, harus menceritakan sebuah kisah, tidak boleh terlalu jelas, tidak boleh terlalu samar-samar dan tidak boleh menggandakan artis kecuali jika itu adalah tema kisah yang diambil. Dengan begitu, menyusun playlist adalah seni yang kompleks, seperti halnya memilih genre, tema, dan situasi yang merangkum emosi.

Mengacu pada refleksi diri, menyusun playlist dapat menjadi proses katarsis yang membantu individu mengartikulasikan pikiran dan emosi mereka tentang peristiwa atau hubungan spesifik tertentu. Bagaimana pelepasan emosi tersebut diberikan ruang jalan untuk keluar. Ekspresi intim yang mengkomunikasikan perasaan dan refleksi pribadi. Pada akhirnya, menyusun dan mendengarkan kembali playlist dapat menciptakan skenario yang sama tetapi dengan suara.

Terlepas dari alasan di balik penciptaannya, playlist memiliki kemampuan untuk menjelma menjadi sebuah karya seni—ekspresi diri digital yang unik, di mana setiap orang dapat terhubung melalui pengalaman auditori yang dipilih dengan cermat. Dalam setiap susunan lagu, terjalin ikatan emosional yang mendalam antara sang pembuat playlist dan pendengarnya, sebuah jembatan makna yang mengukuhkan hubungan pribadi di antara mereka. Bahkan, sebuah playlist yang dirangkai dengan sepenuh hati sering kali mampu berbicara lebih lantang daripada kata-kata, mengisi celah-celah ungkapan yang sulit dijangkau oleh bahasa lisan.

Lebih dari sekadar hiburan, playlist juga dapat menjadi medium penyembuhan dan refleksi diri, serupa dengan fungsi sebuah surat terbuka yang membantu kita mengerti perasaan dan menyelesaikan pergulatan batin. Saat kita bergelut dengan emosi yang berat, seringkali musik menjadi pelipur lara—lagu-lagu yang menenangkan atau memberi rasa dimengerti. Playlist yang lahir dari momen-momen semacam itu menjadi ruang pribadi untuk berefleksi, sebuah wadah untuk merenung, memproses, dan menemukan kembali kekuatan melalui harmoni dan melodi.

Menyusun sebuah playlist dan menulis sepucuk surat terbuka sejatinya memiliki jiwa yang serupa—keduanya adalah wujud ekspresi diri yang halus sekaligus sarat makna. Dalam kedua medium itu, kita menyulam perasaan, pengalaman, dan pesan yang kadang tak terungkap melalui bahasa verbal. Playlist, pada hakikatnya, adalah sepucuk surat yang tak bertumpu pada kata-kata, namun tetap mampu menggugah jiwa dan menyentuh hati yang mendengarkan. Setiap lagu yang dipilih adalah untaian pengakuan diri, sebuah cara merajut keterhubungan dengan sesama, serta selebrasi emosi yang mendalam dalam bentuk yang intim dan unik. Maka, di balik setiap playlist yang kita susun, tersembunyi sebuah kisah yang hendak diceritakan—sepucuk surat terbuka yang tidak hanya berbicara melalui aksara, tetapi juga bernyanyi lewat nada.