Penulis: Chealsee Neobing*

Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negri Niaga Semarang. Puncak masalahnya adalah ketika hutang Sritex menumpuk dan salah satu kreditur, PT Indo Bharat Rayon, menuntut pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang yang sudah ada kesepakatan sebelumnya. Namun, Sritex bukanlah satu-satunya perusahaan di ujung tanduk. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat bahwa per awal Juni 2024, sebanyak 6 pabrik di Indonesia telah tutup, di antaranya PT S Dupantex di Jawa Tengah yang mem-PHK 700 pekerja, PT Alenatex di Jawa Barat dengan 700 pekerja yang terdampak PHK, PT Kusumahadi Santosa di Jawa Tengah yang memecat 500 pekerja, serta PT Kusumaputra Santosa di Jawa Tengah dengan 400 pekerja yang diberhentikan. Selain itu, PT Pamor Spinning Mills di Jawa Tengah mem-PHK 700 orang, dan PT Sai Apparel di Jawa Tengah yang memberhentikan 8.000 pekerja.

Roda pedati industri tekstil sedang terjebak di kubangan lumpur. Dilansir dari Kontan.co.id, Menurut Sutrisno, Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), penurunan permintaan dari pasar global sangat berpengaruh terhadap kinerja industri tekstil di dalam negeri. Di sisi lain, pasar dalam negeri juga melemah akibat penurunan daya beli. Celakanya, pasar dalam negeri juga tak mampu menyerap produksi akibat luber produk impor yang harganya sangat murah. Permendag 8/2024 diduga menjadi pemicu melubernya produk TPT. Kedua hal ini malah menjepit perusahaan tekstil yang mati langkah. Sorha padati industri TPT sedang terjebak kubangan lumpur hisap dalam.

Apa yang membuat berbagai pihak mencurigai Permendag 8/2024 sebagai biang kerok dari cekikan tali masalah industri tekstil? Permendag 8/2024 menghapus kewajiban pertek untuk impor sejumlah komoditas, serta mengembalikan ketentuan tentang persetujuan impor barang komplementer, tes pasar, dan layanan purna jual  Peraturan ini jelas menambah cuka di luka banyak perusahaan tekstil, terutama Sritex. Akibat peraturan itu, Indonesia kebanjiran produk-produk TPT. Sebelumnya, impor produk garmen dan tekstil, yang dikenal sebagai produk jadi, diatur oleh Kementerian Perindustrian melalui Permenperin Nomor 5 Tahun 2024. Dengan regulasi ini, impor barang TPT dapat disesuaikan dengan kapasitas produksi dalam negeri, yang sudah dipatuhi oleh industri tekstil.

Apa yang bisa pemerintah lakukan untuk mengungkit sorha padati industri TPT Indonesia di negaranya sendiri? Mari kita sejenak kembali ke Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 yang mengatur tentang bea cukai. Kenapa bea cukai? Dilansir dari official website Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Menurut Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Encep Dudi Ginanjar, mengungkapkan bahwa Bea Cukai memiliki fungsi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan melindungi Indonesia dari masuknya barang-barang terkena larangan dan pembatasan. Hal ini berkesinambungan dengan kegaiatn ekspor impor, khususnya ekspor impor TPT.

Menurut UU Nomor 39 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 2 terdapat bunyi ‘pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan’ yang membuka pintu untuk objek cukai baru. Bagaimana jika tekstil impor dicukai dengan alasan peredarannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan? Negara memang tidak bisa mengintervensi kegiatan impor tekstil, namun negara sebenarnya sudah mempunya celah untuk menjaga marwah produk TPT asli Indonesia agar sorha padati industry TPT tidak mati di lumpur hisap, yaitu dengan menerbitkan peraturan cukai baru. Demi keadilan untuk para pekerja tekstil dan keseimbangan persaingan antara produk TPT Indonesia dan luar negri, cukai tekstil bisa menjadi jawabannya. Dengan cukai, maka produk TPT luar negri bisa menaikkan harganya karena memiliki beban cukai yang tinggi. Sehingga jika tidak lebih mahal daripada produk TPT asal Indonesia, harganya bisa menyamai produk TPT asal Indonesia sehingga konsumen memiliki pertimbangan lain selain harga dalam membeli produk TPT.

Tentu saja hal ini tidak serta-merta langsung menghidupkan pabrik yang sudah pailit, namun hal ini bisa mencegah runtuhnya pabrik-pabrik TPT lain, sehingga pekerja-pekerjanya tidak banyak yang dirumahkan. Cukai tekstil juga bukan hal yang mudah untuk diimplementasikan, namun bukan berarti tidak bisa jika mempunyai political will.

***

*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Indonesia yang fokus pada bidang fiskal dan perpajakan

**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi radarbaru.com