Penulis : Nazwa Aulia Putri Maulana*
Jin, iblis, dan setan merupakan bagian dari dimensi gaib yang sering dibahas dalam berbagai tradisi keimanan dan kebudayaan. Meski tak kasat mata, keberadaan mereka diyakini memengaruhi kehidupan manusia. Namun banyak terdapat mitos dan kesalahpahaman membuat pemahaman tentang mereka sering menjadi kabur. Bagaimana sebenarnya konsep jin, iblis, dan setan dalam perspektif keimanan? Apa pula peran mereka dalam kebudayaan? Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita kenali terlebih dahulu makhluk-makhluk gaib tersebut.
Pendahuluan
Menurut Kepercayaan pada makhluk gaib adalah bagian dari identitas keimanan yang wajib dimiliki oleh umat Islam, dimana Allah telah menegaskannya bahwa di antara ciri-ciri orang yang bertaqwa pada Allah adalah beriman kepada yang ghaib, sebagaimana tertera dalam surat Al-Baqarah ayat 3 yang berbunyi ”Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib”. Keberadaan Jin, iblis dan setan merupakan makhluk Allah yang tak kasat mata atau ghaib, Allah menciptakan mereka sebagai tanda bahwa selain manusia, ada makhluk ghaib yang melingkupi mereka setiap saat dan memperhatikan gerak gerik mereka dari arah mana saja yang mereka inginkan. Pemahaman tentang dimensi gaib ini membantu manusia menyadari bahwa ada makhluk lain yang diberi tanggung jawab untuk beribadah kepada Allah dan yang berperan dalam keseimbangan kehidupan manusia. Dimensi ini juga menjadi refleksi spiritual, mengingatkan manusia untuk terus berhati-hati terhadap godaan dan tipuan dari makhluk gaib yang bisa menjauhkan mereka dari jalan kebenaran (Nurani, 2021).
Menurut Nurani (2021), istilah ghaib dalam al-Qur’an meliputi berbagai hal seperti kematian, hari akhir, surga, neraka, malaikat, jin, iblis, setan, dan lainnya. Dalam pandangan Wahid Abdus Salam Bali yang dikutip oleh Nurani, ghaib merujuk pada segala sesuatu yang tidak dapat disaksikan oleh indera manusia, seperti keberadaan malaikat, jin, dan keturunannya (Bali, 2006: 1-2).
Konsep Jin dalam Islam: Makhluk dari Api dan Kehendak Bebas
Jin adalah makhluk Allah yang diciptakan dari api yang sangat panas, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hijr: 27. Jin memiliki kehendak bebas untuk memilih antara kebaikan dan keburukan, yang serupa dengan manusia. Kehidupan mereka juga mirip dengan manusia, meliputi adanya kerajaan, bangsa, agama, serta kewajiban menjalankan syariat (Hikmawati et al., 2019). Dalam Al-Qur’an, kata jin berasal dari akar kata janna, yang berarti menutupi atau tidak terlihat. Menurut beberapa ulama Jin memiliki sifat beragam seperti Sebagian ada yang beriman dan sebagian lagi kafir, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Jin: 11. Mereka juga memiliki kewajiban untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana tertulis dalam QS. Adz-Dzariyat: 56 Shihab (2011 dalam Nurani, 2021). Secara kebudayaan, jin sering kali dikaitkan dengan mitos dan kepercayaan tradisional. Misalnya, dalam masyarakat Jawa, hubungan manusia dengan dunia gaib sering diwakili melalui tradisi seperti sesajen. Praktik ini dianggap sebagai upaya menjalin hubungan dengan makhluk tak kasat mata. Namun, pemahaman ini sering bercampur antara interpretasi lokal dan ajaran agama, yang menciptakan kerancuan antara mitos dan spiritualitas dengan ini penting untuk membedakan antara ajaran Islam yang otentik dengan kepercayaan tradisional yang berkembang di masyarakat. Dengan memahami konsep jin dalam Islam, umat Muslim dapat menempatkan keyakinan terhadap makhluk gaib ini secara tepat, menghindari penyimpangan akidah, dan tetap fokus pada keimanan kepada Allah sebagai Pencipta segalanya.
Iblis: Makhluk dari Bangsa Jin yang Menolak Perintah Allah
Iblis adalah makhluk halus dari bangsa jin yang terkenal karena sifatnya yang sombong, jahat, dan ingkar terhadap perintah Allah. Dalam Al-Qur’an, Iblis pertama kali disebutkan dalam kisah penciptaan Adam, di mana Iblis menolak untuk bersujud kepada Adam karena merasa lebih mulia, dengan anggapan bahwa ia diciptakan dari api sementara Adam dari tanah (Fachruddin, dalam Nurani, 2021).
Setan: Musuh Abadi Manusia yang Menyesatkan
Nurani (2021) Dijelaskan bahwa Setan berasal dari kata syaitan, yang berarti “amat jauh” (Fachruddin, 1992). Dalam pandangan Islam, setan mencakup makhluk dari golongan manusia, jin, maupun binatang yang keterlaluan dalam perbuatannya (Sabiq, 1972). Setan dikenal sebagai simbol kejahatan, karena sifatnya yang selalu mengarahkan manusia kepada keburukan dan perbuatan mungkar (Al Bilali, 2005). Allah menggambarkan setan sebagai musuh abadi manusia dan jin yang menggunakan tipu daya serta bisikan untuk menyesatkan mereka. Seperti disebutkan dalam QS. Al-An’am: 112, Setan akan terus menggoda dan mengajak mereka agar jatuh ke dalam lubang yang sama, Setan selalu mendorong manusia ke jalan yang menyalahi kehendak Allah, sehingga dikenal dua jalan utama dalam kehidupan, yaitu jalan Allah dan jalan setan. Oleh karena itu, manusia diajak untuk terus waspada agar tidak terjerumus dalam godaan setan dan tetap teguh dalam keimanan kepada Allah (Al-Alusi, 1977, dalam Nurani, 2021).
Keterkaitan Keimanan dan Kebudayaan dalam Kepercayaan terhadap Makhluk Gaib
Dalam perspektif keimanan, keterlibatan makhluk gaib dapat memperkuat keyakinan terhadap dimensi metafisik, sebagaimana ditegaskan dalam akidah Islam bahwa alam gaib adalah bagian yang nyata meski tidak terlihat. Namun, dengan kepercayaan ini juga berpotensi menimbulkan penyimpangan akidah jika pelaku lebih menitikberatkan hubungan dengan makhluk gaib dibandingkan dengan keimanan kepada Tuhan. Sebagai contoh, masyarakat yang terlibat dalam kesenian Jatilan di Desa Wonorejo, meski mayoritas beragama Islam dan menjalankan syariat dengan baik, masih mempraktikkan tradisi magis khas Jawa sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural. Pendekatan terhadap dimensi gaib ini mengungkap adanya sebuah hubungan yang erat antara keimanan dan kebudayaan dalam masyarakat tradisional. Kepercayaan pada jin, iblis, dan setan bukan hanya refleksi dari iman terhadap alam gaib, tetapi juga manifestasi dari nilai-nilai budaya yang diwariskan secara turun-temurun.
Perspektif Psikologi dan Sosial tentang Dimensi Gaib, dengan Pengaruh Kepercayaan terhadap Jin, Iblis, dan Setan
Dampaknya terhadap Pola Pikir dan Perilaku Manusia, Kepercayaan terhadap jin, iblis, dan setan memengaruhi pola pikir dan perilaku individu maupun masyarakat. Dalam perspektif psikologi mistis, keyakinan terhadap dimensi gaib sering kali menjadi bentuk ekspresi spiritual manusia yang mendalam, mencerminkan kebutuhan untuk memahami hal-hal yang berada di luar jangkauan akal. Kepercayaan ini dapat mendorong perilaku positif, seperti meningkatkan kehati-hatian, memperkuat keimanan, atau menjaga moralitas. Namun, dalam beberapa kasus, kepercayaan ini juga bisa menimbulkan ketakutan berlebihan, stigma sosial, atau penyalahgunaan kepercayaan untuk tujuan tertentu
Fenomena Budaya yang Muncul dari Kepercayaan Ini, Kepercayaan terhadap jin, iblis, dan setan melahirkan berbagai fenomena budaya, seperti ritual adat, seni pertunjukan, dan tradisi lisan. Misalnya, di Indonesia, kepercayaan lokal terhadap jin sering kali terwujud dalam upacara penolak bala atau pertunjukan seni tradisional seperti wayang yang mengandung unsur-unsur spiritual. Fenomena ini menunjukkan bagaimana kepercayaan terhadap dimensi gaib berfungsi sebagai mekanisme untuk memperkuat identitas budaya dan menjaga harmoni sosial.
Penutup
Kepercayaan terhadap jin, iblis, dan setan mencerminkan dimensi gaib yang memainkan peran penting dalam tradisi keimanan dan kebudayaan, khususnya dalam Islam. Keberadaan makhluk gaib ini tidak hanya menjadi bagian dari iman kepada Allah, tetapi juga mempengaruhi perilaku sosial dan budaya masyarakat. Dalam perspektif keimanan, jin, iblis, dan setan merupakan makhluk yang memiliki kehendak bebas dan berperan sebagai ujian bagi umat manusia, baik dalam bentuk godaan maupun peringatan. Sementara dalam kebudayaan, mereka sering kali menjadi simbol dalam ritual adat dan seni tradisional yang mencerminkan interaksi manusia dengan dimensi yang tak kasat mata.
Namun, penting untuk memisahkan antara ajaran agama yang sahih dengan praktik-praktik budaya yang sering kali bercampur dengan unsur mistis. Pemahaman yang benar tentang makhluk gaib ini membantu umat Islam tetap berfokus pada keimanan kepada Allah, menghindari penyimpangan akidah, dan menjaga keseimbangan dalam kehidupan spiritual. Di sisi lain, kepercayaan terhadap makhluk gaib ini juga memperlihatkan bagaimana manusia mencari penjelasan atas hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh indera, serta menciptakan ikatan sosial yang kuat dalam komunitas.
Sebagai penutup, dimensi gaib merupakan aspek yang tak terpisahkan dalam kehidupan spiritual dan budaya, yang terus mempengaruhi cara manusia melihat dunia dan berinteraksi dengan yang tak tampak. Dengan memahami konsep jin, iblis, dan setan dalam perspektif keimanan yang benar, kita dapat menjaga keseimbangan antara keimanan, budaya, dan kehidupan sosial, sambil tetap waspada terhadap pengaruh negatif yang dapat timbul dari penyalahgunaan kepercayaan ini.
Referensi
- Nuramin, Nuramin. (2021). Analisis Terhadap Penafsiran Imam Al-Alusy tentang Jin, Iblis, dan Setan. Jurnal Iman dan Spiritualitas, Volume 1, Nomor 3: pp. 334-358. http://dx.doi.org/10.15575/jis.v1i3.13429
- Hikmawati, R., & Saputra, M. (2019). Manifestasi keimanan akan makhluk ghaib (jin) dalam kehidupan beragama umat Islam: Studi kasus ekspresi beragama Ormas Nahdlatul ‘Ulama dan Persatuan Islam di Kota Bandung. Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, 4(2), 131–155.
- Astuti, R. K. (2015). Unsur magis dalam Jatilan dan relevansinya terhadap pemahaman akidah (Studi kasus di Desa Wonorejo Kec. Pringapus Kab. Semarang) (Skripsi, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang). Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Walisongo
- La Kahij, Y. F. (2009). Menuju Psikologi Mistis. Jurnal Psikologi Undip, 5(2)
***
*) Penulis lahir di Cirebon pada 22 Juli 2005. Saat ini sedang menempuh pendidikan di bidang Psikologi. Selain mendalami ilmu Psikologi, penulis memiliki ketertarikan dalam dunia seni. Baginya seni bukan hanya tentang keindahan, tetapi juga sarana yang menghadirkan kebahagiaan dan ruang apresiasi. Minat ini mendorong penulis untuk terus mengeksplorasi berbagai bentuk seni dan ekspresi kreatif, yang tidak hanya memperluas wawasan, tetapi juga menginspirasi pandangan baru dalam kehidupan.
**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi radarbaru.com