Oleh: Siti Fatihah Ashari*

Indonesia, dalam ketahanan pangan merupakan negara agraris dengan banyak lahan subur, menghadapi paradox yang luar biasa. Masyarakat di berbagai daerah telah merasakan dampak kelangkaan beras baru-baru ini, karena harga beras melonjak hingga Rp15.000 per kilogram, mengurangi kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah untuk membeli beras. Yang lebih ironis, keadaan ini terjadi pada saat pemerintah mengimpor lebih dari 2 juta ton beras pada tahun ini. Pertanyaan besar muncul sebagai akibat dari kebijakan ini: apakah impor beras adalah cara terbaik untuk menjamin ketahanan pangan nasional? Kelangkaan beras di pasar lokal bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Ada beberapa penyebab utama yang melatarbelakangi situasi ini:

1. Kebijakan Impor yang Tidak Tepat Waktu

Pemerintah sering kali mengimpor beras pada saat panen raya lokal mendekat. Akibatnya, beras lokal bersaing dengan beras impor di pasar, yang menyebabkan harga gabah anjlok. Petani kecil, yang sudah terbebani biaya produksi tinggi, semakin tertekan karena hasil panen mereka dihargai jauh di bawah biaya produksi.

2. Ketergantungan pada Impor

Ketergantungan pada beras impor telah menjadi kebiasaan jangka panjang. Alih-alih memperkuat sistem produksi dalam negeri, pemerintah cenderung memilih jalan pintas dengan mengandalkan produk luar. Kebijakan ini tidak hanya melemahkan petani lokal tetapi juga membuat ketahanan pangan kita rentan terhadap dinamika pasar global.

3. Distribusi yang Tidak Efisien

Beras impor sering kali menumpuk di gudang Bulog karena keterbatasan infrastruktur distribusi. Hal ini menyebabkan pasokan tidak merata, dengan wilayah tertentu mengalami kelangkaan sementara daerah lain kelebihan stok.

Masalah ini memberikan dampak luas bagi masyarakat dan ekonomi:

  1. Petani Lokal Terpuruk, harga gabah yang rendah membuat petani kesulitan menutupi biaya produksi, sehingga banyak yang enggan melanjutkan budidaya.
  2. Kesejahteraan Masyarakat Menurun, lonjakan harga beras membebani masyarakat berpenghasilan rendah, yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pangan.
  3. Rapuhnya Ketahanan Pangan Nasional, ketergantungan pada impor membuat Indonesia rentan terhadap gangguan pasokan global, seperti embargo atau kenaikan harga internasional.

Kebijakan impor beras pemerintah sering kali menuai kritik.Kebijakan ini tampaknya merupakan solusi instan yang hanya menguntungkan importer besar dan segelintir individu tanpa mempertimbangkan efek jangka panjangnya. Selain itu, kebijakan ini melemahkan petani lokal, yang seharusnya menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional.

Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan langkah strategis dan berkelanjutan:

  1. Pemerintah harus berinvestasi pada irigasi modern, distribusi pupuk, dan pelatihan teknologi untuk petani lokal.
  2. Impor hanya boleh dilakukan dalam situasi darurat dan tidak bertepatan dengan masa panen lokal.
  3. Promosi bahan pangan lokal seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian harus digencarkan untuk mengurangi ketergantungan pada beras.
  4. Pembangunan infrastruktur transportasi dan pergudangan di daerah terpencil dapat memastikan pasokan pangan yang merata.

Kelangkaan beras bukan hanya masalah teknis, tetapi juga pengingat bahwa kita harus membangun sistem pangan yang kuat dan berdaulat. Tidak ada solusi jangka pendek seperti impor, yang dapat menyelesaikan masalah dasar. Ini adalah saatnya bagi pemerintah, masyarakat, dan petani untuk bekerja sama untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan. Dengan langkah konkret, Indonesia dapat keluar dari siklus ketergantungan dan mewujudkan cita-cita menjadi bangsa yang mandiri dalam hal pangan.

* Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa