Oleh: Siti Lailatul Fitriani*

Menyoal sebuah transformasi pendidikan yang sering diimplikasikan dalam perubahan kurikulum. Maka di era disrupsi ini kurikulum merdeka dianggap idealis sebagai sebuah inovasi. Kurikulum merdeka sendiri merupakan sebuah rancangan yang digagas atas dasar adanya fenomena learning loss (kemunduran belajar) akibat terjadinya pandemi global covid-19. Dikatakan oleh Dewi Rahmadayanti dan temannya dalam jurnal Basicedu edisi volume 6 nomor 4 tahun 2022, bahwa roh pendidikan terletak pada kurikulumnya. Sehingga kurikulum pendidikan yang diberlakukan harus relevan terhadap perkembangan zaman dan juga mampu menjawab tantangan global disetiap eranya. Namun, setiap perubahan kurikulum sering kali diterima dengan pandangan negatif oleh masyarakat, bahkan terlontar ungkapan sarkasme ”Ganti menteri, ganti kurikulum”. Artinya seolah-olah kurikulum di Indonesia berubah akibat masa jabatan menteri lama telah usai dan digantikan oleh menteri baru yang tidak mau kalah akan ide dan konsepnya perihal menangani problematika dunia pendidikan. Padahal secara umum perubahan kurikulum dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, begitupun kurikulum merdeka yang masih hangat diperbincangkan.

Konsep kurikulum merdeka sudah dicetuskan sejak 2019 silam oleh bapak Nadiem Makarim dalam konferensinya. Namun di tengah perjalanan kurikulum merdeka juga diwarnai dengan polemik bahwa kurikulum merdeka bukanlah kurikulum nasional. Karena menurut beberapa ahli bahwa rancangan kurikulum naasional harus jelas dan sesuai dengan prosedural yang ada, akan tetapi prespektif beberapa ahli bahwa kurikulum merdeka belum layak menjadi kurikulum nasional. Sungguh jenaka sekali bahwa kurikulum merdeka yang sudah digembor-gemborkan sebagai inovasi pendidikan di abad 21 ini tidak layak menjadi kurikulum nasional. Tidak hanya itu, sebuah toxic positifisme kurikulum merdeka juga menjadikan guru-guru di Indonesia kalang kabut menghadapi berbagai kebijakan barunya. Kejenakaan juga terlihat jelas dalam praktik kurikulum yang seolah-olah memanfaatkan teknologi untuk membantu kinerja guru, namun faktanya hanya menjadikan guru sebagai budak teknologi dengan berbagai aplikasi berembel-embelkan pendidikan. Salah satunya ialah Platform Merdek Mengajar (PMM) yang katanya bertujuan untuk membantu guru dalam mengajar, meningkatkan kompetensi guru dan menjadikan guru lebih profesional. Akan tetapi realitanya guru menjadi sibuk secara administratif dan tidak fokus mengajar.

Perjalanan Kurikulum Merdeka 

Kurikulum merdeka sebenarnya sudah dicetuskan sejak tahun 2019 silam oleh Bapak Nadiem Anwar Makarin sebagai bentuk penyempurnaan kurikulum 2013, tidak heran awal kemunculannya banyak disebut sebagai kurikulum 2013 plus atau yang disempurnakan. Pada tahun 2020 ramai disebut dengan istilah kurikulum darurat, karena diangkat sebagai langkah preventif menghadapi bencana Covid-19 yang hadir pada akhir tahun 2019 silam. Selanjutnya tahun 2020-2021 muncul istilah kurikulum prototype yang merupakan tindak lanjut dari kurikulum darurat. Didefinisikan kurikulum prototype sendiri ialah kurikulum berbasis komptensi untuk mendukung pemulihan pembelajaran dengan penerapatan model pembelajaran berbasis proyek dan diimplementasikan ke dalam rancangan Profil Pelajar Pancasila. Itu semua merupakan konsep dari kurikulum merdeka belajar yang secara sederhana makna ”merdeka” dimaksudkan dalam kebebasan lembaga pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lembaganya.

Penerapan kurikulum merdeka memang tidak mengikat seluruh sekolah di Indonesia, dilansir dari akun resmi Kemendikbudristek bahwa penerapannya masih opsional. Tidak hanya itu, jenjang kelas yang diimplementasikan juga masih terbatas yakni hanya pada jenjang kelas 1 dan kelas 4 saja untuk di tingkat sekolah dasar. Hal tersebut dilakukan karena menyadari tidak semua sekolah mampu dan siap megikuti perubahan dalam waktu yang singkat. Berbagai kebijakan baru muncul di era kurikulum merdeka diantaranya ialah pada tahun 2020, terjadi perubahan penting dalam sistem evaluasinya, di mana Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) diganti dengan asesmen yang diselenggarakan oleh sekolah. Asesmen ini memberikan kebebasan pada guru dan sekolah untuk menilai kompetensi siswa secara lebih komprehensif. Kemudian, pada tahun 2021, Ujian Nasional berubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter, yang menitikberatkan pada literasi, numerasi, dan karakter siswa. Tujuannya adalah mendorong peningkatan mutu pembelajaran, mengikuti praktik internasional seperti PISA dan TIMSS. Selanjutnya, terjadi penyederhanaan dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dengan hanya 3 komponen inti: tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen, agar guru memiliki lebih banyak waktu untuk persiapan dan evaluasi. Terakhir, ada kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru yang lebih fleksibel, untuk mengatasi ketimpangan akses dan kualitas pendidikan di daerah.

Secara umum Kurikulum Merdeka juga menandai perubahan signifikan dalam pendidikan Indonesia dibandingkan dengan Kurikulum 2013. Sementara Kurikulum 2013 menempatkan penekanan pada pencapaian akademis dan penguasaan materi tertentu, Kurikulum Merdeka menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada siswa, memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengembangkan potensi dan minatnya sendiri. Berbeda dengan Kurikulum 2013 yang lebih terpusat pada standar dan kurikulum nasional, Kurikulum Merdeka memberikan ruang lebih besar bagi sekolah dan guru untuk menyesuaikan pembelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu, Kurikulum Merdeka mendorong adopsi teknologi dan inovasi dalam pembelajaran, sementara Kurikulum 2013 mungkin lebih tradisional dalam pendekatannya. Dengan demikian, Kurikulum Merdeka tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan prestasi akademis siswa, tetapi juga untuk mengembangkan keterampilan, karakter, dan sikap yang dibutuhkan dalam dunia yang terus berubah. Ini mencerminkan pergeseran paradigma yang lebih luas dalam pendidikan, dari orientasi pada hasil tes ke arah pengembangan holistik individu siswa. Seharusnya kurikulum merdeka ini cukup ideal sebagai kurikulum nasional.

Konsep Ideal Kurikulum Nasional

Sebuah kurikulum nasional yang ideal seharusnya merupakan panduan yang komprehensif dan inklusif untuk pendidikan disebuah negara. Selain itu juga harus mencerminkan nilai-nilai nasional dan aspirasi masyarakat, sambil memberikan kerangka kerja yang jelas untuk proses pembelajaran di semua tingkat pendidikan. Kurikulum nasional harus menggambarkan visi yang jelas tentang tujuan pendidikan nasional, termasuk pengembangan keterampilan akademis, praktis, sosial, dan emosional siswa. Selain itu, kurikulum nasional yang ideal haruslah dinamis dan responsif terhadap perkembangan terkini dalam pendidikan, teknologi, dan tuntutan global. Hal ini memungkinkan adopsi terhadap inovasi pendidikan yang relevan dan efektif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Tidak kalah pentingnya, kurikulum nasional yang ideal harus mengintegrasikan nilai-nilai keberagaman, kesetaraan, dan inklusi, sehingga semua siswa merasa dihargai dan didukung dalam proses belajarnya. Dengan demikian, kurikulum nasional yang ideal bukan hanya menjadi panduan untuk pendidikan formal, tetapi juga menjadi instrumen penting dalam mewujudkan visi pendidikan yang inklusif, berkualitas, dan berdaya saing di tingkat nasional dan internasional.

Menurut Ki Hajar Dewantara, konsep kurikulum yang baik adalah yang berpusat pada peserta didik sebagai subjek utama dalam proses pembelajaran. Kurikulum yang baik harus memperhatikan kebutuhan, minat, dan potensi unik setiap siswa, serta mengakui keragaman budaya dan latar belakang mereka. Lebih dari sekadar mengajarkan pengetahuan, kurikulum yang baik juga harus mendorong pengembangan karakter, keterampilan, dan nilai-nilai moral yang positif dalam diri siswa. Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam pendidikan, yang mencakup aspek intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Selain itu, kurikulum yang baik harus mengakomodasi kebutuhan masyarakat dan konteks lokal di mana siswa tersebut berada, sehingga relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka dan dapat memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Kurikulum Merdeka Resmi Sebagai Kurikulum Nasional

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas mengenai idealnya sebuah kurikulum nasional dan gambaran umum kurikulum merdeka maka sudah seyogianya kurikulum merdeka juga dapat dijadikan sebagai kurikulum nasional. Kejenakaan kurikulum merdeka bukanlah kurikulum nasional memang tidak muncul begitu saja, hal tersebut hadir atas pernyataan Bapak Mendikbudristek yang sedikit blunder pada konferensinya yang menyatakan bahwa akan ada kurikulum nasional. Penggorengan pernyataan yang tidak tuntas di media sosial juga menyulut amarah masyarakat khususnya akademisi yang menganggap akan ada kurikulum baru pengganti kurikulum merdeka. Diberbagai diskusi pertemuan organisasi profesi guru dan dosen juga gencar membahas isu mengenai adanya kurikulum nasional selain kurikulum merdeka. Kekecewaan tidak terbendungkan, sungguh lucunya jika kurikulum merdeka dengan perjalanan panjangnya tidak dijadikan kurikulum nasional dan harus diganti lagi.

Secara resmi dikeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 14 Tahun 2024 tentang Kurikulum Pendidikan Usia Dini, Pendidikan Jenjang Sekolah Dasar dan Pendidikan Jenjang Sekolah Menengah yang berisi berbagai konsep, garis-garis besar pelaksanaan kurikulum merdeka. Hal tersebut menjadi payung hukum yang sangat kuat untuk penyelenggaraan kurikulum merdeka sebagai kurikulum nasional. Guna meminimalisir hal tersebut seharusnya dari pemerintah juga harus sigap melakukan berbagai langkah preventif. Seperti peninjauan kurikulum merdeka secara berkala dengan melibatkan para praktisi pendidikan agar kurikulum tersebut layak menjadi kurikulum nasional dan juga tidak menjadi polemik di masyarakat karena dianggap kurang tepat. Pernyataan seorang Menteri harus benar-benar jelas jangan menimbulkan pemahaman ganda dengan cara menggunakan bahasa yang umum dan mudah dimengerti. Kemudian segala pernyataan berkenaan dengan kebijakan baru harus terlegalisir secara resmi, bukan hanya sebatas lisan melalui media video daring yang diunggah di media sosial dan juga mempertimbangkan berbagai kritik serta saran dari berbagai elemen masyarakat mengenai kebijakan kurikulum merdeka ini.

Referensi

Dzulvikor, Ahmad. ”Klarifikasi: Kurikulum Merdeka Tidak Diganti, Tapi Disiapkan Jadi Kurikulum Nasional” dalam https://www.kompas.com/cekfakta/read/2024/03/07/173733782/klarifikasi-kurikulum-merdeka-tidak-diganti-tetapi-disiapkan-jadi?page=all diakses 20 Mei 2024.

Febriyenti, Dini, dkk. ”Perkembangan Kurikulum di Indonesia dalam Prespektif Sejarah” dalam Jurnal Al Idaroh. No. 2, Vol. 7, September 2023.

Payong, Oktavianus D. “Mengkritisi Kurikulum Merdeka Menjadi Kurikulum Nasional Baru” dalam https://www.kompasiana.com/payongoktavianus4937/65eeeaf1c57afb676062ae04/mengkritisi-perubahan-kurikulum-merdeka-menjadi-kurikulum-nasional-baru diakses 20 Mei 2024.

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2024 Tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah.

Purbowati, Deni. “Kurikulum Nasional 2024 Ada di Depan Mata, Apa Kabar Kurikulum Merdeka?” dalam https://akupintar.id/info-pintar/-/blogs/kurikulum-nasional-2024-di-depan-mata-apa-kabar-kurikulum-merdeka diakses 20 Mei 2024.

Rachmawati, Atiek. “Menguak Paradigma Kurikulum Prototype (2022)” dalam https://uns.ac.id/id/uns-update/menguak-paradigma-baru-kurikulum-prototipe-2022.html diakses 20 Mei 2024.

Rahmadayanti, Dewi dan Hartoyo, Agung. “Potret Kurikulum Merdeka, Wujud Merdeka Belajar di Sekolah Dasar“ dalam Jurnal Basicedu. No. 4, Vol. 6, 2022.

*) Mahasiswa Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Angkatan 2021 Institut Al Fithrah Surabaya