Penulis: Nelis Novitasari

Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) datang dari berbagai daerah dengan latar belakang budaya dan bahasa yang beragam. Sebagai salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia, Untirta menjadi tempat pertemuan antara mahasiswa dari Banten, Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan daerah lainnya. Dalam lingkungan yang multikultural ini, perbedaan bahasa sering kali menjadi sumber tantangan tersendiri.

Culture shock bahasa, atau kejutan budaya dalam aspek bahasa, menjadi salah satu pengalaman yang kerap dihadapi mahasiswa baru saat beradaptasi di kampus. Pendidikan tinggi adalah suatu jenjang di mana orang-orang dari berbagai latar belakang belajar secara lebih holistik. Kampus tidak hanya menjadi tempat mahasiswa belajar, namun juga menjadi tempat berinteraksi sosial. Orang-orang datang dari berbagai kota, negara bagian, pulau, dan bahkan berbagai negara untuk belajar.

Oleh karena itu, kampus pantas digambarkan sebagai tempat perjumpaan budaya yang aktif, kata “Rantau” sering dikaitkan dengan pelajar, pekerja, atau orang yang pindah jauh dari tempat tinggal aslinya. Mahasiswa baru yang merantau untuk belajar pada program Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas sultan ageng tirtayasa (Untirta) seringkali mengalami culture shock yang cukup signifikan.

Seperti yang dijelaskan dalam artikel ini, hal ini sering terjadi pada pelajar dari etnis dan pulau lain. Kejutan budaya atau culture shock merupakan fenomena psikologis yang dialami seseorang ketika tiba-tiba berpindah ke lingkungan atau budaya yang berbeda.

Perbedaan bahasa, norma sosial, nilai budaya, makanan, dan gaya hidup baru dapat menimbulkan gegar budaya. Adaptasi, di sisi lain, adalah proses di mana individu beradaptasi terhadap persyaratan dan perubahan lingkungan baru. Gegaran budaya disebabkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kurangnya tanda dan simbol dalam interaksi sosial (Mulyana & Rakhmat, 2010).

Bahasa adalah alat komunikasi utama, tetapi perbedaan dialek dan istilah lokal sering kali memunculkan kebingungan di antara mahasiswa. Mahasiswa asal Banten, misalnya, mungkin terbiasa dengan bahasa Sunda Banten atau bahasa Indonesia dengan logat khas daerah, sementara mahasiswa dari luar daerah membawa bahasa dan logat mereka masing-masing. Hal ini dapat menyebabkan miskomunikasi, salah pengertian, atau bahkan perasaan canggung ketika berinteraksi. Misalnya, kata-kata yang dianggap biasa di suatu daerah mungkin memiliki makna berbeda atau bahkan negatif di daerah lain.

Contoh sederhananya adalah penggunaan kata “sire” yang lazim di budaya jawa serang atau biasa disebut bahasa Jaseng (Jawa-Serang) tetapi bisa dianggap tidak sopan di budaya lain. Situasi ini sering memaksa mahasiswa untuk lebih berhati-hati dalam memilih kata saat berbicara. Culture shock bahasa tidak hanya terjadi dalam komunikasi sehari-hari tetapi juga berdampak pada proses pembelajaran di kelas.

Dosen dan teman sekelas mungkin menggunakan istilah akademik atau ungkapan daerah yang asing bagi mahasiswa baru. Hal ini dapat memperlambat pemahaman materi kuliah, terutama jika mahasiswa tidak terbiasa dengan gaya bahasa atau istilah yang digunakan. Sebagai contoh, mahasiswa yang berasal dari daerah dengan bahasa lokal dominan sering kali menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan bahasa Indonesia formal yang digunakan dalam pembelajaran.
Beberapa mahasiswa bahkan mengalami rasa minder ketika berbicara di depan umum karena takut salah dalam pemilihan kata atau pengucapan. Masyarakat Indonesia diakui sebagai kelompok yang beragam, dengan anggotanya berasal dari berbagai kebudayaan. Keragaman budaya ini menimbulkan variasi di antara kelompok masyarakat yang bisa lebih mudah dipahami melalui komunikasi.

Pola komunikasi yang dapat terjadi dalam interaksi tersebut adalah komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya merujuk pada interaksi yang berlangsung dalam situasi yang menampilkan perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat istiadat, dan kebiasaan (Steward dalam Daryanto, 2016:207).

Saat melakukan komunikasi antarbudaya, para peserta komunikasi bisa merasakan keterkejutan budaya akibat perbedaan tersebut. Keterkejutan terhadap budaya terjadi terutama bagi seseorang yang berada di lingkungan budaya yang baru. Kondisi ini dikenal sebagai culture shock.

Istilah culture shock mula-mula diperkenalkan pada tahun 1958 untuk menggambarkan kegelisahan yang dirasakan seseorang ketika berpindah ke lingkungan yang sepenuhnya asing. Istilah ini menggambarkan kondisi kebingungan, merasa tidak tahu harus berbuat apa atau bagaimana melakukan segala sesuatu di tempat baru, serta sulit mengetahui hal-hal yang sesuai atau tidak sesuai.
Culture shock umumnya muncul setelah minggu pertama seseorang tiba di tempat baru. Culture shock bisa terjadi di berbagai lingkungan. Ini bisa melibatkan individu yang pindah dari satu daerah ke daerah lain di negara yang sama (intra-national) hingga mereka yang bertransisi ke negara lain (Dayakisni, dkk., 2004).Culture shock sering kali diasosiasikan dengan momen ketika seseorang memasuki kebudayaan baru yang bukan hanya berkaitan dengan negara asing, tetapi juga dapat mencakup agama baru, institusi pendidikan baru, lingkungan kerja baru, bahkan keluarga baru.

Dalam bahasa Indonesia, culture shock berarti kejutan budaya. Individu akan merasakan keterkejutan terhadap budaya saat memasuki kehidupan baru yang memiliki suasana, tempat, dan kebiasaan yang berbeda dari kehidupan sebelumnya. Hal ini adalah hal yang umum terjadi karena individu tersebut telah lama tinggal di satu tempat dan telah beradaptasi dengan budaya di tempat asalnya.

Mengatasi culture shock bahasa membutuhkan waktu dan usaha dari setiap individu. Untirta sebagai institusi pendidikan juga memiliki peran penting dalam membantu mahasiswa mengatasi tantangan ini yaitu dengan mengadakan program orientasi yang tidak hanya mengenalkan budaya kampus tetapi juga memberikan ruang bagi mahasiswa untuk memahami keragaman bahasa dan budaya.

Lalu, menyediakan pelatihan bahasa formal atau workshop yang membantu mahasiswa beradaptasi dengan istilah akademik dan bahasa Indonesia formal, mendorong mahasiswa untuk bergabung dalam organisasi yang multikultural sehingga mereka dapat terbiasa berinteraksi dengan teman dari berbagai daerah dan menyediakan layanan konseling untuk membantu mahasiswa yang mengalami tekanan akibat kesulitan beradaptasi.

Jadi, Culture shock bahasa adalah tantangan nyata bagi mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Namun, dengan pendekatan yang tepat, tantangan ini dapat diubah menjadi peluang untuk belajar, bertumbuh, dan memperluas wawasan. Lingkungan multikultural di Untirta seharusnya menjadi sarana untuk memperkuat solidaritas, saling memahami, dan merayakan keragaman bahasa serta budaya yang ada.

Dengan kerja sama antara mahasiswa, dosen, dan pihak kampus, proses adaptasi ini dapat berjalan lebih lancar, menghasilkan generasi mahasiswa yang lebih inklusif dan toleran terhadap perbedaan. Mereka semua datang dari berbagai daerah dan latar belakang, hal ini menjadi sebuah perbandingan untuk memahami bagaimana individu dari satu daerah dan daerah lainnya yang memiliki perspektif berbeda tentang kota Serang.

Pandangan mereka mencerminkan keragaman kehidupan di kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Perbedaan yang paling mencolok adalah dalam hal komunikasi, yaitu bahasa. Meskipun terdapat perbedaan lain yang juga penting, komunikasi adalah kunci untuk saling memahami, walaupun Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa berfungsi sebagai penghubung yang signifikan, tetapi bahasa daerah lebih umum digunakan dalam interaksi sehari-hari.

Hal ini menjadi salah satu kejutan budaya bagi mahasiswa rantau di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). Adaptasi, di sisi lain, adalah proses individu menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perubahan dari lingkungan yang baru. Melalui adaptasi, fenomena culture shock dapat berangsur-angsur menghilang dan berubah menjadi kebiasaan baru. Ini biasanya lebih sering dialami oleh mahasiswa yang berasal dari suku atau pulau yang berbeda, sebagaimana dijelaskan dalam artikel ini.

Adaptasi adalah proses individu menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perubahan dari lingkungan yang baru. Perbedaan paling mencolok biasanya terjadi pada masalah komunikasi, yaitu bahasa. Meski ada perbedaan lain yang juga penting, tujuan utamanya adalah untuk memahami culture shock yang dialami oleh mahasiswa.

Berdasarkan apa yang telah dibahas sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa adaptasi terhadap perubahan sangat krusial dalam kehidupan. Ada banyak perbedaan dalam kebiasaan dan hal-hal lain di sekitar kita. Terdapat berbagai pandangan mengenai perbedaan culture shock yang dirasakan oleh mahasiswa/mahasiswi, seperti suhu cuaca, makanan, bahasa, hingga kebiasaan.

Dengan melalui proses adaptasi ini dan melaksanakan strategi adaptasi yang tepat, mahasiswa akan lebih mudah beradaptasi dengan keadaan sekitar di tempat baru yang mereka tinggali. Mahasiswa baru ini juga dapat mengatasi culture shock dan berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan baru mereka di kota Serang.

Hal ini dapat memberikan wawasan penting bagi masyarakat pekerja rantau serta mahasiswa rantau untirta dan para pemangku kepentingan terkait dalam mendukung proses adaptasi yang positif dan sukses bagi mahasiswa baru rantau yang belajar di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.