Penulis: Michelle Marvella*
Dalam dinamika perekonomian modern, relasi antara konsumen dan pelaku usaha memegang posisi yang sangat sentral. Hubungan ini tidak hanya semata-mata bersifat transaksional, tetapi juga sarat dengan dimensi etika, hukum, dan tanggung jawab sosial. Pelaku usaha, dalam menjalankan aktivitas ekonominya, bukan hanya berperan sebagai penyedia barang dan jasa, melainkan juga sebagai subjek hukum yang wajib mematuhi norma-norma yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Sebaliknya, konsumen sebagai pihak penerima manfaat, berhak atas jaminan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam menggunakan barang dan/atau jasa yang ditawarkan.
Dalam konteks Indonesia, tanggung jawab ini diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasal 7 UUPK menegaskan kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya serta memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Apabila pelaku usaha melanggar ketentuan ini, maka selain dapat dikenakan sanksi administratif, mereka juga dapat dijerat dengan sanksi pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 62 UUPK.
Pelanggaran terhadap etika bisnis dan regulasi yang berlaku dapat menimbulkan dampak multidimensi. Tidak hanya merugikan konsumen secara individu maupun kolektif, tetapi juga menciptakan ketidakadilan dalam mekanisme pasar, mengganggu persaingan usaha yang sehat, serta merusak kepercayaan publik terhadap dunia usaha secara keseluruhan. Misalnya, dalam kasus skandal susu formula mengandung bakteri berbahaya yang pernah terjadi di beberapa negara Asia, konsumen menjadi korban langsung dari ketidakjujuran dan kelalaian pelaku usaha dalam menjaga standar mutu produk.
Oleh karena itu, perlindungan konsumen harus menjadi prioritas utama dalam setiap pengambilan keputusan bisnis. Pelaku usaha perlu menyadari bahwa kepatuhan terhadap regulasi bukan sekadar beban hukum, melainkan juga investasi jangka panjang untuk membangun reputasi, kredibilitas, dan loyalitas pelanggan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UUPK, pelaku usaha dilarang memproduksi dan memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan. Melanggar ketentuan ini tidak hanya berarti melawan hukum, tetapi juga mencederai asas keadilan sosial dalam perekonomian.
Konsumen berhak mendapatkan produk dan layanan yang berkualitas serta aman digunakan. Pelaku usaha yang lalai dalam memenuhi standar keselamatan produk melanggar prinsip due care dalam etika bisnis, di mana mereka seharusnya mengutamakan perlindungan terhadap keselamatan pihak lain. Sebagai contoh, dalam kasus recall produk otomotif akibat cacat produksi sistem pengereman, jelas menggambarkan bagaimana kelalaian teknis dapat berujung pada bahaya serius bagi konsumen. Untuk menghindari terjadinya pelanggaran semacam itu, pemerintah harus memperkuat pengawasan serta menerapkan penegakan hukum yang tegas dan tidak diskriminatif.
Dalam kaitan ini, peran negara sangat penting sebagai regulator, pengawas, sekaligus penegak hukum. Tidak hanya sekadar menindak pelaku usaha yang melanggar, tetapi juga menciptakan sistem pengawasan preventif, seperti sertifikasi produk, pengujian berkala, dan penguatan lembaga pengaduan konsumen. UUPK pun memberikan ruang bagi konsumen untuk memperjuangkan haknya melalui mekanisme penyelesaian sengketa, baik secara non-litigasi melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun jalur pengadilan.
Transparansi informasi produk menjadi fondasi utama dalam menjaga keseimbangan ini. Konsumen berhak atas informasi yang akurat, jujur, dan tidak menyesatkan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf c UUPK. Misalnya, label makanan yang tidak mencantumkan kandungan alergen dapat membahayakan konsumen yang memiliki alergi tertentu. Dalam konteks ini, false advertising atau iklan menyesatkan juga termasuk dalam perbuatan yang dilarang sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UUPK. Oleh sebab itu, pelaku usaha harus menjunjung tinggi prinsip truth in advertising untuk memastikan bahwa iklan yang disampaikan tidak mengecoh konsumen.
Lebih lanjut, edukasi konsumen merupakan komponen strategis dalam menciptakan ekosistem pasar yang berimbang dan sehat. Konsumen yang memiliki literasi yang cukup akan mampu membuat keputusan rasional, membedakan produk yang aman dan layak dari yang tidak, serta berani menuntut hak-haknya bila terjadi pelanggaran. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, organisasi konsumen, media, dan dunia pendidikan sangat diperlukan dalam mengedukasi konsumen. Pasal 4 huruf f UUPK menegaskan hak konsumen untuk memperoleh pendidikan konsumen.
Partisipasi aktif konsumen dalam pengawasan pasar juga merupakan instrumen penguatan perlindungan konsumen. Konsumen tidak sekadar berperan sebagai pihak pasif, melainkan juga sebagai kontrol sosial yang dapat melaporkan setiap indikasi kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Mekanisme pengaduan online melalui Kementerian Perdagangan maupun Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dapat dijadikan sarana pengaduan cepat atas pelanggaran yang terjadi.
Dari sisi pelaku usaha, inovasi merupakan kunci dalam memenangkan persaingan pasar, namun inovasi tersebut tidak boleh mengabaikan prinsip kehati-hatian, keamanan, dan kepatuhan hukum. Misalnya, pengembangan teknologi artificial intelligence dalam produk keuangan digital harus memperhatikan keamanan data konsumen agar tidak disalahgunakan atau disebarluaskan tanpa persetujuan. Dalam hal ini, selain tunduk pada UUPK, pelaku usaha juga wajib mematuhi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).
Selain itu, percakapan konstruktif antara pelaku usaha dan konsumen penting untuk membangun relasi jangka panjang yang harmonis. Forum mediasi, konsultasi publik, maupun forum tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dapat dijadikan wadah interaksi positif antara kedua belah pihak. Dengan komunikasi yang terbuka, pelaku usaha dapat menerima masukan secara langsung dari konsumen dan melakukan perbaikan berkelanjutan pada produk dan layanan mereka.
Pada akhirnya, keseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha bukanlah beban sepihak, tetapi merupakan tanggung jawab bersama semua pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, konsumen, serta masyarakat luas. Sinergi ini menjadi prasyarat terciptanya perekonomian yang sehat, berkeadilan, serta berkelanjutan. Dengan terciptanya ekosistem bisnis yang adil, bukan hanya hak konsumen yang terlindungi, tetapi juga kepastian usaha bagi pelaku usaha dapat terjamin dalam jangka panjang.
***
*) Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Pelita Harapan.
*) Dosen: Carissa Amanda Siswanto, S.H., M.H.
**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi radarbaru.com