Penulis: Michael Gabriel Halomoan Angkat*

Perkembangan teknologi digital telah mendorong transformasi besar-besaran dalam sistem keuangan nasional. Munculnya layanan keuangan berbasis aplikasi, dompet digital, aset kripto, hingga pinjaman peer-to-peer lending menawarkan kemudahan dan inklusi yang luas bagi masyarakat. Namun, di balik narasi modernisasi tersebut, terdapat celah besar yang kerap luput dari perhatian: meningkatnya potensi tindak pidana pencucian uang melalui medium digital. Kejahatan yang dahulu bersifat fisik dan kasat mata kini bertransformasi menjadi transaksi tanpa jejak kas, melintasi yurisdiksi, dan sulit diendus dengan metode penegakan hukum konvensional.

Di Indonesia, regulasi mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang masih bertumpu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Meski secara substansi telah mengatur aspek pelaporan, identifikasi, hingga pemblokiran aset, namun dalam implementasinya, hukum sering kali tertinggal oleh laju inovasi teknologi. Banyak startup keuangan yang lahir dalam ekosistem digital tidak memiliki pemahaman utuh tentang kewajiban mereka sebagai pelapor transaksi mencurigakan (reporting parties). Akibatnya, potensi penyalahgunaan layanan digital sebagai sarana pencucian uang—melalui struktur transaksi bertingkat, akun palsu, atau manipulasi sistem pembayaran—semakin besar dan mengkhawatirkan.

Kelemahan ini diperparah dengan masih terbatasnya kapasitas lembaga pengawas seperti PPATK dalam menjangkau transaksi lintas platform dan lintas negara secara real-time. Di sisi lain, sektor pengawasan perbankan dan fintech pun belum memiliki kerangka kerja terpadu yang mampu memverifikasi sumber dana secara digital, khususnya dalam ekosistem aset kripto yang volatil dan relatif anonim. Hal ini terbukti dalam beberapa kasus transaksi ilegal, termasuk pendanaan terorisme dan perdagangan narkotika yang berhasil menyusup melalui jaringan dompet digital dan kripto exchange lokal. Jika regulasi dan sistem pengawasan tidak segera bertransformasi, negara berpotensi kehilangan kendali atas arus dana gelap yang menyelinap dalam bentuk yang sah.

Diperlukan pendekatan hukum yang adaptif dan progresif agar tidak hanya sekadar mengejar pelanggaran di permukaan, melainkan mampu mengantisipasi modus-modus kejahatan baru. Legislasi berbasis risiko, pemanfaatan teknologi forensik digital, serta integrasi data antar-lembaga hukum dan otoritas keuangan adalah langkah yang mendesak untuk diwujudkan. Penegakan hukum dalam konteks digital tidak cukup lagi hanya mengandalkan pendekatan formalistik, melainkan harus berbasis kecerdasan data dan respons hukum yang fleksibel. Tanpa reformasi tersebut, hukum akan terus tertinggal dari dinamika pelaku kejahatan yang kian canggih dan terorganisir.

Akhirnya, pertanyaan mendasarnya bukan hanya pada kesiapan regulasi, melainkan pada kemauan politik dan kapasitas institusi hukum untuk benar-benar bergerak cepat menyesuaikan diri. Hukum tidak boleh lagi bersifat reaktif—ia harus proaktif, prediktif, dan integratif. Di tengah ekosistem keuangan yang kian terdigitalisasi, menjaga integritas sistem bukan hanya soal penindakan, melainkan tentang membangun mekanisme pencegahan yang sistemik, kuat, dan berkelanjutan. Maka, sudahkah hukum mengikuti? Atau justru kita masih terus tertinggal satu langkah di belakang para pelaku kejahatan digital?

***

*) Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Magiter Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi radarbaru.com