Penulis: Muhammad Falih Aji*

Perang Gaza yang mencapai intensitas baru setelah 9 Oktober 2023, tidak hanya merupakan konflik antara dua entitas politik tetapi juga mencerminkan permasalahan sosial yang lebih dalam, terutama terkait dengan perempuan Palestina. Dalam permasalahan ini, teori feminisme, khususnya yang dibahas oleh Susan Okin dalam bukunya Whether Multiculturalism Is Good or Bad for Women (1999), sangat relevan untuk menganalisis bagaimana perempuan Palestina menjadi korban dari ketidaksetaraan yang semakin parah di tengah kekerasan perang dan struktur patriarkal yang ada dalam masyarakat mereka.

Susan Okin mengajukan kritik tajam terhadap konsep multikulturalisme, khususnya bagaimana multikulturalisme dapat memperburuk kondisi perempuan dalam masyarakat yang terfragmentasi. Dalam bukunya, Okin (1999) mengungkapkan bahwa, meskipun multikulturalisme mengklaim untuk melindungi hak-hak budaya minoritas, sering kali prinsip ini mengabaikan atau bahkan memperburuk ketidaksetaraan gender yang ada dalam kelompok-kelompok tersebut. Ia berargumen bahwa “multikulturalisme dapat mengarah pada pengabaian hak-hak perempuan jika hak-hak tersebut bertentangan dengan nilai-nilai budaya tertentu yang berlaku dalam komunitas-komunitas tersebut” (Okin, 1999, hal 6).

Dalam membahas negara Gaza—perempuan Palestina hidup di bawah pendudukan dan dalam masyarakat yang juga terperangkap dalam tradisi patriarkal. Kekerasan yang mereka hadapi, baik dari pihak Israel maupun dari struktur sosial dalam komunitas mereka sendiri, mencerminkan pengabaian hak-hak dasar perempuan. Meskipun multikulturalisme berusaha menghargai keragaman budaya, Okin menekankan bahwa, dalam banyak kasus, budaya dominan di dalam masyarakat-masyarakat ini—baik itu budaya patriarkal atau budaya kolonial—sering kali tidak memberikan ruang bagi hak-hak perempuan (Okin, 1999, hal 8). 

Okin juga berpendapat bahwa ketika multikulturalisme gagal untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, banyak perempuan menjadi korban ketidaksetaraan yang lebih dalam. Dalam hal ini, perempuan Palestina, yang telah lama hidup dalam bayang-bayang ketidakadilan sosial dan politik, terpaksa menghadapi lapisan ketidaksetaraan ganda: pertama, akibat penjajahan oleh negara Israel, dan kedua, akibat struktur patriarki yang ada dalam masyarakat Palestina itu sendiri. Okin (1999) lebih lanjut menjelaskan bahwa perempuan yang hidup dalam sistem multikultural sering kali dipaksa untuk mengorbankan kebebasan pribadi mereka demi kepentingan komunitas yang lebih besar. Hal ini tercermin dalam kehidupan perempuan Palestina yang terus berjuang untuk hak-hak dasar mereka, sambil terjebak dalam kekerasan yang dipicu oleh konflik politik, serta norma-norma budaya yang mengekang peran perempuan. Okin mencatat bahwa “penekanan terhadap hak-hak budaya dalam multikulturalisme sering kali mengarah pada pengabaian perlindungan terhadap perempuan dalam komunitas-komunitas yang mendominasi” (Okin, 1999, hal 15).

Perempuan Palestina dalam menjalankan kehidupan di Gaza: Pertahanan, Kekerasan, Perjuangan

Namun, meskipun perempuan Palestina terpinggirkan, mereka juga menunjukkan ketahanan luar biasa. Perempuan-perempuan ini tidak hanya berperan sebagai ibu dan istri yang mendukung keluarga mereka dalam masa perang, tetapi juga aktif dalam perlawanan terhadap pendudukan. Mereka memperjuangkan kebebasan dan hak-hak dasar mereka, bahkan di tengah ketidaksetaraan yang mereka hadapi dalam masyarakat yang terfragmentasi oleh konflik dan patriarki dan untuk menggambarkan kehidupan perempuan di Gaza kita bisa melihat siklus diagram segitiga dibawah  ini.

Sumber foto: M. Falih Aji, 2025

Kekerasan: Perempuan di Gaza menjadi korban kekerasan fisik, seksual, dan psikologis akibat konflik yang berlangsung lama. Mereka sering kali menjadi sasaran serangan udara, serangan militer, intimidasi, dan pemerkosaan. Menurut Human Rights Watch, lebih dari 70% perempuan Palestina di Gaza mengalami kekerasan, baik dari pihak Israel maupun dalam komunitas mereka sendiri. Kekerasan ini tidak hanya fisik, tetapi juga mencakup trauma psikologis yang berkepanjangan. Amnesty International melaporkan bahwa lebih dari 90% perempuan di Gaza mengalami gangguan mental seperti PTSD akibat kekerasan yang terus berlanjut. Kekerasan menjadi bagian besar dari kehidupan perempuan Gaza, menimbulkan dampak yang merusak secara fisik dan mental.

Ketahanan: Meski menghadapi kekerasan, perempuan Gaza menunjukkan ketahanan luar biasa. Mereka terus bertahan hidup dan mendukung keluarga meskipun kekurangan dan pembatasan yang ada. Banyak perempuan bekerja di rumah sakit, sekolah, atau lembaga sosial, meski menghadapi risiko besar. Menurut United Nations Relief and Works Agency (UNRWA), lebih dari 50% perempuan Gaza terlibat dalam pekerjaan kemanusiaan, pendidikan, dan kesehatan. Ketahanan ini juga tercermin dalam gerakan perempuan yang memperjuangkan hak-hak mereka, seperti akses pendidikan, kesehatan, dan kebebasan pribadi, yang sering kali terabaikan di tengah konflik.

Perjuangan: Perempuan Gaza tidak hanya bertahan, tetapi juga berjuang untuk hak-hak dasar mereka. Mereka memperjuangkan akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan meskipun terhambat oleh norma budaya patriarkal yang masih kuat. Selain itu, banyak perempuan terlibat dalam perlawanan politik melawan penjajahan dan ketidakadilan yang mereka alami. Meski terlibat dalam perjuangan besar ini, perempuan sering kali dihadapkan pada tantangan besar untuk memperoleh hak yang setara dengan laki-laki di bidang sosial, politik, maupun keluarga.

Perempuan di Gaza, meskipun hidup dalam kondisi yang sangat sulit, menjadi simbol kekuatan dan ketahanan dalam menghadapi kekerasan, ketidaksetaraan, dan tantangan akibat perang dan pendudukan. Dalam perspektif feminisme, ini menunjukkan bagaimana konflik memperburuk ketidaksetaraan gender yang sudah ada dalam struktur sosial mereka.

Melalui perspektif feminisme, khususnya dengan menggunakan teori Susan Okin, kita melihat bahwa perempuan Palestina tidak hanya terperangkap dalam kekerasan fisik akibat perang, tetapi juga dalam ketidaksetaraan gender yang lebih luas. Multikulturalisme yang mengabaikan hak-hak perempuan memperburuk ketidaksetaraan ini. Perempuan Gaza menjadi contoh nyata bagaimana ketidaksetaraan gender semakin dalam dalam konteks konflik yang berkepanjangan.

Referensi:

  • Amnesty International. (2021). The impact of conflict on women in Gaza: A report on violence and human rights violations. Amnesty International. https://www.amnesty.org/en/reports/gaza-impact-on-women
  • Human Rights Watch. (2021). Gaza: The untold story of women under siege. Human Rights Watch. https://www.hrw.org/report/gaza-women-siege
  • Okin, S. M. (1999). Whether multiculturalism is good or bad for women. Oxford University Press.
  • United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees (UNRWA). (2022). Women in Gaza: Resilience and challenges in conflict zones. UNRWA. https://www.unrwa.org/resources/women-gaza.

***

*) Penulis adalah Mahasiswa Sarjana Ilmu Politik Semester 4 Universitas Indonesia

**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi radarbaru.com