Penulis: Elly Shinta Herlina*
Stereotip “perempuan tempatnya di dapur” masih mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia. Padahal, realitas menunjukkan bahwa perempuan mampu berkontribusi signifikan dalam berbagai sektor, termasuk politik. Namun, jalan menuju kursi legislatif bagi kaum perempuan masih dipenuhi rintangan struktural dan kultural yang kompleks.
Ketimpangan Representasi yang Mengkhawatirkan
Data Komisi Pemilihan Umum menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2019-2024 hanya mencapai 21,8 persen. Angka ini memang meningkat dibandingkan periode sebelumnya, namun masih jauh dari target 30 persen yang diamanatkan dalam berbagai regulasi. Fenomena ini bukan sekadar masalah statistik, melainkan cerminan dari sistem politik yang belum sepenuhnya memberikan ruang setara bagi perempuan.
Ketimpangan representasi ini berdampak pada proses pembuatan kebijakan yang kurang sensitif gender. Banyak isu yang menyentuh kehidupan perempuan, seperti kesehatan reproduksi, perlindungan pekerja rumah tangga, dan kekerasan berbasis gender, seringkali tidak mendapat prioritas yang memadai dalam agenda legislatif. Hal ini terjadi karena perspektif perempuan masih terbatas dalam ruang pengambilan keputusan.
Hambatan Struktural yang Sistemik
Perempuan menghadapi berbagai hambatan struktural dalam memasuki dunia politik. Pertama, sistem rekrutmen partai politik yang masih didominasi oligarki laki-laki. Meskipun undang-undang mewajibkan minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon, praktik nepotisme dan politik dinasti kerap mengabaikan kualitas dan kompetensi calon perempuan.
Kedua, akses terhadap sumber daya politik yang terbatas. Perempuan seringkali kesulitan memperoleh dukungan finansial dan jaringan politik yang kuat. Kampanye politik membutuhkan dana yang tidak sedikit, sementara akses perempuan terhadap sumber pendanaan politik masih terbatas. Hal ini diperparah dengan sistem pemilu yang mengharuskan calon legislatif berkampanye secara individual, sehingga membutuhkan modal sosial dan ekonomi yang besar.
Ketiga, beban ganda yang dihadapi perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah. Tuntutan untuk mengurus keluarga seringkali menjadi alasan perempuan enggan terjun ke dunia politik yang membutuhkan waktu dan energi ekstra. Budaya patriarki yang masih kuat membuat perempuan merasa bersalah ketika harus meninggalkan peran domestiknya untuk berkiprah di ranah publik.
Dinamika Kultural yang Menghambat
Selain hambatan struktural, perempuan juga menghadapi tantangan kultural yang tidak kalah berat. Masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisional seringkali memandang politik sebagai domain maskulin. Perempuan yang aktif berpolitik kerap mendapat label negatif, mulai dari “tidak feminin” hingga “mengabaikan keluarga”. Media massa juga turut berperan dalam melanggengkan stereotip gender dalam politik. Pemberitaan tentang politisi perempuan seringkali lebih fokus pada penampilan fisik dan kehidupan pribadi ketimbang visi dan program politiknya. Hal ini menciptakan standar ganda yang merugikan perempuan dalam kompetisi politik.
Urgensi Transformasi Sistem Politik
Keterlibatan perempuan dalam politik bukan hanya soal keadilan, tetapi juga kebutuhan mendesak untuk menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa negara dengan tingkat keterwakilan perempuan yang tinggi dalam parlemen cenderung memiliki kebijakan yang lebih baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
Perempuan membawa perspektif yang berbeda dalam melihat persoalan publik. Pengalaman hidup yang unik sebagai perempuan memberikan sensitivitas khusus terhadap isu-isu yang menyentuh kehidupan masyarakat marjinal. Hal ini penting untuk menciptakan kebijakan yang tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu, tetapi juga memberikan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
Langkah Konkret Menuju Kesetaraan
Untuk mengatasi persoalan ini, diperlukan reformasi menyeluruh dalam sistem politik Indonesia. Partai politik harus memperkuat komitmen terhadap kesetaraan gender dengan menerapkan sistem zipper dalam penyusunan daftar calon. Sistem ini memastikan bahwa perempuan dan laki-laki ditempatkan secara bergantian dalam daftar calon, sehingga peluang terpilih menjadi lebih seimbang.
Selain itu, perlunya afirmasi khusus dalam bentuk dana kampanye dan pelatihan politik bagi calon perempuan. Program mentoring yang melibatkan politisi perempuan senior dapat memberikan guidance yang berharga bagi generasi penerus. Tidak kalah penting, perlu ada perubahan mindset masyarakat melalui edukasi politik yang sensitif gender.
Perempuan tidak lagi seharusnya hanya berkutat di dapur, tetapi juga memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk duduk di kursi DPR. Transformasi ini membutuhkan komitmen bersama dari seluruh elemen masyarakat, mulai dari partai politik, pemerintah, hingga masyarakat sipil. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat mewujudkan demokrasi yang benar-benar inklusif dan berkeadilan gender. Indonesia membutuhkan representasi politik yang mencerminkan keberagaman masyarakatnya.
Perempuan, yang merupakan separuh dari populasi Indonesia, berhak mendapat ruang yang setara dalam menentukan masa depan bangsa. Saatnya kita melepaskan belenggu stereotip dan membuka ruang seluas-luasnya bagi perempuan untuk berkiprah dalam politik Indonesia.
***
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang Serang.
**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi radarbaru.com