Penulis: Handini Pramesti*

Ketimpangan pendidikan antara kota dan pelosok masih menjadi persoalan yang tak kunjung terselesaikan. Di saat sekolah-sekolah di kota sudah berbicara soal digitalisasi dan kecerdasan buatan, banyak sekolah di daerah terpencil justru masih berjuang dengan keterbatasan guru, fasilitas, dan akses dasar pendidikan. Anak-anak di daerah pelosok pun bertanya lirih,”Apakah pendidikan benar-benar untuk kami juga?”

Realita di lapangan menyajikan potret yang kontras. Di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), anak-anak menempuh perjalanan panjang melewati sungai, hutan, bahkan lereng curam hanya untuk mencapai sekolah sederhana. Banyak dari mereka belajar di ruang kelas yang kurang layak bahkan hampir roboh atau atapnya yang bocor. Tak jarang, satu guru merangkap mengajar semua mata pelajaran, dengan alat belajar yang sangat terbatas.

Sementara itu, di kota, fasilitas pendidikan makin canggih ada internet cepat, perpustakaan digital, guru profesional, dan berbagai program pendukung. Mirisnya, ketimpangan ini sering luput dari perhatian. Pemerintah daerah sering kali lebih fokus membangun infrastruktur perkotaan dan melupakan desa-desa terpencil.

Pendidikan seharusnya menjadi jalan bagi semua anak menuju masa depan yang setara. Namun kesenjangan antara pusat dan daerah justru memperbesar jurang itu. Anak-anak di pelosok yang semestinya mendapat perhatian lebih, malah sering tertinggal dalam banyak hal.

Program pendidikan nasional memang terus digulirkan, namun implementasinya tidak selalu menyentuh wilayah terluar. Banyak program berhenti di tingkat administrasi, tanpa menyentuh akar masalah di lapangan. Akibatnya, kualitas pendidikan tidak berkembang secara merata. Kota semakin maju, desa makin tertinggal. Meski pemerintah sudah meluncurkan banyak program itu tetapi belum menyentuh akar masalah. Di beberapa daerah, sinyal internet belum tersedia, sekolah rusak belum diperbaiki, dan pengelolaan administrasi masih menyulitkan para guru.

Pendidikan di kota tidak bisa langsung diterapkan di daerah terpencil. Setiap wilayah punya karakter dan tantangan sendiri. Maka pendekatan yang dibutuhkan harus lebih kontekstual. Libatkan masyarakat lokal, sesuaikan metode belajar dengan kondisi setempat bisa lewat modul cetak, radio edukatif, atau pelatihan guru berbasis lokalitas.

Dengan cara ini, anak-anak pelosok tidak dipaksa mengejar teknologi yang belum mereka kenal, tapi dibimbing dengan pendekatan yang relevan dan efektif.

Kondisi ini berisiko menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi di masa depan. Ketika akses pendidikan hanya dimiliki segelintir kelompok di kota, maka potensi anak-anak desa untuk berkembang akan terhambat. Mereka tidak kalah pintar, hanya saja tidak diberi kesempatan dengan fasilitas yang sama.

Guru yang bertugas di pelosok bukan hanya mendidik, tapi juga berjuang menghadapi tantangan alam, keterbatasan sarana, hingga tekanan sosial. Mereka perlu mendapat dukungan lebih dari sekadar tunjangan. Jaminan karier, pelatihan, serta perlindungan sosial harus menjadi bagian dari komitmen negara terhadap mereka.

Tak hanya itu, pendidikan di pelosok adalah tanggung jawab kolektif. Kampus, komunitas, media, hingga swasta juga bisa ikut ambil peran. Jika semua bergerak, pendidikan di daerah tak lagi jadi beban negara semata.

Masa depan bangsa ini bukan hanya ditentukan oleh mereka yang belajar di ruang kelas nyaman dengan layar proyektor, tetapi juga oleh anak-anak yang menulis di bangku reyot dengan semangat tak kenal lelah. Mereka yang bermimpi, meski hidup di ujung negeri yang sering tak terlihat peta.

Pendidikan yang layak bukan soal dari mana seseorang lahir, tapi soal bagaimana negara hadir untuk setiap warganya. Selama anak-anak di pelosok negeri masih tertinggal, maka mimpi besar bangsa ini belum sepenuhnya adil. Sudah saatnya perhatian itu diberikan seraca merata.

***

*) Penulis adalah Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Peradaban.

**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi radarbaru.com