Surakarta, radarbaru.com – Potensi besar kota Surakarta dalam sektor wellness tourism dinilai belum tergarap secara optimal akibat minimnya akomodasi yang secara khusus menawarkan layanan berfokus pada kesehatan dan gaya hidup sehat. Padahal, tren pariwisata global saat ini menunjukkan peningkatan minat terhadap wellness tourism, yakni perjalanan wisata yang menitikberatkan pada pemeliharaan kesehatan fisik, mental, dan spiritual.

Hingga hari ini, belum banyak fasilitas penginapan di Surakarta yang benar-benar memfokuskan diri pada konsep wellness. Sebagian besar hotel dan penginapan masih mengusung layanan konvensional, dengan fokus utama pada akomodasi standar dan layanan umum bagi wisatawan biasa atau pelaku perjalanan bisnis. Padahal, wellness tourism bukan sekadar menawarkan spa atau fasilitas kebugaran, tetapi menciptakan pengalaman menyeluruh yang melibatkan perawatan tubuh, keseimbangan jiwa, hingga terapi berbasis budaya dan alam.

Potensi ini sebenarnya sudah ada. Tradisi jamu, pijat Jawa, meditasi, bahkan filosofi hidup orang Jawa seperti “eling lan waspada” bisa menjadi dasar kuat pengembangan wellness retreat yang otentik dan bernilai jual tinggi. Belum lagi kekayaan kuliner sehat tradisional yang bisa dipadukan dengan tren pola makan modern seperti plant-based diet atau mindful eating.

Sayangnya, belum tampak keseriusan dari pelaku industri maupun pemangku kebijakan untuk menjadikan wellness tourism sebagai strategi utama pengembangan pariwisata. Surakarta masih lebih sering dijual sebagai kota budaya dan sejarah, tanpa melihat bahwa budaya itu sendiri mengandung nilai-nilai penyembuhan yang kuat.

Jika dibiarkan, Surakarta akan terus tertinggal dari daerah lain seperti Bali, Ubud, atau bahkan Yogyakarta yang sudah lebih dahulu melihat peluang ini dan mulai mengintegrasikan layanan kesehatan dan kebugaran dalam sektor pariwisatanya.

Sudah saatnya Surakarta berpikir lebih progresif. Investasi pada wellness tourism bukan hanya soal membangun fasilitas baru, tetapi membentuk ekosistem: melibatkan tenaga terapis lokal, pelaku jamu tradisional, hingga arsitek dan desainer ruang yang memahami kebutuhan healing dan relaksasi.

Dengan langkah strategis dan visi yang kuat, Surakarta tidak hanya bisa mengejar ketertinggalan, tetapi bahkan menjadi pionir wellness tourism berbasis budaya Jawa. Pertanyaannya tinggal satu: maukah kita mulai bergerak?