Penulis: Maulana Alif Rasyidi*

Perdebatan berkala para akademisi pada paruh akhir Januari 2025 dipicu oleh wacana pemberian izin Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada Perguruan Tinggi (PT) dalam revisi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Polarisasi sikap yang muncul tidak sebatas menampilkan perbedaan pandangan, tetapi juga menjadi panggung pertaruhan besar atas independensi dan integritas akademik. Forum Rektor Indonesia yang diasumsikan sebagai representasi suara perguruan tinggi justru menimbulkan tanda tanya besar ketika mendukung wacana ini dengan dalih pengabdian masyarakat dan penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Argumentasi tersebut sejatinya mengabaikan fakta bahwa industri ekstraktif telah terbukti menyebabkan kerusakan lingkungan yang masif dan konflik sosial berkepanjangan. Narasi “green mining” dan “good mining practice” yang dihembuskan oleh para pendukung wacana ini agaknya hanya sebagai pembungkus manis atas potensi eksploitasi yang dapat mengorbankan kepentingan publik. Pertaruhan marwah akademik menjadi semakin nyata ketika wacana ini berpotensi mengkompromikan fungsi kritis perguruan tinggi terhadap kebijakan pertambangan. Independensi kampus dalam mengawasi dan mengkritisi dampak sosio-ekologis pertambangan bisa terancam ketika perguruan tinggi justru menjadi bagian dari industri ekstraktif. Kegelisahan tersebut lantas semakin relevan mengingat track record industri pertambangan di Indonesia, yang sarat dengan kasus perusakan lingkungan dan marginalisasi masyarakat lokal. Urgensi untuk mempertahankan independensi akademik menjadi semakin krusial di tengah godaan keuntungan ekonomi jangka pendek.

Prof. Dr. H Didin Muhafidin S.I.P., M.Si.  selaku Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia dan Rektor Universitas Al Ghifari mengemukakan dukungannya dengan mengutip UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sebagai landasan legal. Argumentasi tersebut kemudian diperkuat oleh Prof. Dr. Mohamad Irhas Effendi, M.Si.  dari UPN Veteran Yogyakarta yang menekankan kompetensi SDM perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang. Kedua tokoh tersebut berpandangan bahwa keterlibatan kampus dalam pengelolaan tambang sebagai bentuk pengabdian masyarakat yang dapat memberikan manfaat ekonomi. Mereka mengklaim bahwa partisipasi perguruan tinggi justru akan menjamin implementasi good mining practice dan mendukung pengembangan green mining. Respon positif kedua tokoh tadi diawali sebelumnya dengan pernyataan Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Bambang Haryadi, yang menyebut bahwa penurunan biaya kuliah sebagai dampak positif dari pengelolaan tambang oleh kampus. Namun sesungguhnya perspektif ini mengabaikan potensi konflik kepentingan yang dapat muncul ketika perguruan tinggi terlibat dalam industri ekstraktif. Argumentasi tersebut jelas memprioritaskan aspek ekonomi tanpa mempertimbangkan secara mendalam dampak ekologis dan sosial. Penggunaan narasi pengabdian masyarakat untuk membenarkan keterlibatan dalam industri ekstraktif mencerminkan apa yang disebut dalam Critical Legal Studies(CLS) sebagai “false consciousness”,[1] yaitu ketika legitimasi hukum yang diberlakukan justru menunjukkan bagaimana regulasi dapat dimanipulasi untuk kepentingan ekonomi tertentu.

Bersamaan dengan hadirnya afirmasi dari kedua tokoh tadi, justru Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Dr. Fathul Wahid menyatakan penolakan wacana tersebut dengan alasan yang didasarkan  pada etika lingkungan dan integritas akademik. Penolakan ini diperkuat oleh kritik tajam Yustinus Prastowo, mantan Staf Khusus Menteri Keuangan, yang memperingatkan bahwa keterlibatan kampus dalam pengelolaan tambang sama dengan “menggadaikan kebebasan akademik dan marwah kampus sebagai kekuatan intelektual di hadapan modal.” Bila ditelaah melalui perspektif teori kritis Jürgen Habermas tentang kolonisasi dunia-kehidupan, memang keterlibatan perguruan tinggi dalam industri ekstraktif merepresentasikan bentuk penetrasi sistem ekonomi ke dalam ranah pendidikan. Fathul Wahid pun juga menekankan bahwa industri ekstraktif telah terbukti mengakibatkan kerusakan lingkungan dan sering kali merugikan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan. Yustinus memperingatkan potensi “pengebawahan kampus kepada korporasi dan negara” yang dapat mengancam independensi akademik. Kedua tokoh ini menilai rencana penurunan UKT sebagai iming-iming yang tidak sebanding dengan risiko jangka panjang yang ditimbulkan. Argumentasi kontra keduanya sejalan dengan teori keadilan lingkungan Robert D. Bullard yang menonjolkan pentingnya menjaga keseimbangan ekologis dan keadilan sosial.[2] Perspektif kritis ini menegaskan bahwa perguruan tinggi seharusnya menjadi pengawal moral dan intelektual, bukan justru terlibat dalam praktik yang berpotensi merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.

Kerangka analisis CLS yang dikembangkan Roberto Unger[3] dan Duncan Kennedy mampu menginterpretasikan masalah fundamental dalam argumentasi legal Forum Rektor Indonesia. Penggunaan UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi sebagai landasan yuridis mencerminkan apa yang disebut CLS sebagai “indeterminacy thesis”  , yang berarti makna hukum diperalat untuk kepentingan kelompok dominan. Interpretasi “pengabdian masyarakat” yang dipaksakan untuk membenarkan eksploitasi tambang menunjukkan bagaimana hukum dapat menjadi instrumen legitimasi kepentingan ekonomi. Gejala sosial tersebut relevan dengan kritik CLS terhadap netralitas hukum yang seringkali menyembunyikan relasi kuasa dan kepentingan ekonomi. Klaim bahwa keterlibatan kampus akan menjamin good mining practice mengabaikan fakta bahwa regulasi pertambangan sendiri sering gagal melindungi kepentingan lingkungan dan masyarakat. Penggunaan narasi hukum untuk membenarkan eksploitasi sumber daya alam mencerminkan apa yang dimaksudkan oleh pakar CLS sebagai “hegemonic function of law”. Konstruksi hukum yang dibangun Forum Rektor mengabaikan realitas bahwa hukum pertambangan di Indonesia sering berpihak pada kepentingan pemodal. Analisis CLS dalam konteks ini sanggup membongkar bagaimana wacana legal dapat menutupi potensi kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial yang sangat berpotensi terjadi.

Pemikiran Max Horkheimer dan Theodor Adorno yang masih bermadzhab  Frankfurt mempertajam pembacaan tentang bahaya memperalat pendidikan tinggi demi kepentingan industri ekstraktif.  Konsep “green mining” yang disebut Rektor UPN Veteran Yogyakarta sebagai solusi berkelanjutan mencerminkan apa yang disebut Mazhab Frankfurt sebagai “instrumental reason” yang mereduksi alam menjadi sebatas objek eksploitasi. Klaim tentang kompetensi SDM perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang mengabaikan kritik fundamental terhadap logika dominasi atas alam. Beriringan dengan logika dominasi tersebut, sesungguhnya wacana penurunan biaya UKT melalui pengelolaan tambang merepresentasikan bentuk ‘komodifikasi pendidikan’ yang dikritik oleh Mazhab Frankfurt. Sebab partisipasi perguruan tinggi dalam industri ekstraktif akan memungkinkan terjadinya legitimasi palsu (brand image) terhadap eksploitasi alam.[4]  Perlu diketahui publik, bahwa praktik-praktik green mining di Asia, termasuk Indonesia, cenderung didorong oleh tekanan kebijakan internasional dibanding kesadaran lingkungan yang genuine.[5] Penggunaan teknologi dan expertise akademik untuk pertambangan dapat menjadi bentuk “technological rationality” yang justru melanggengkan kerusakan lingkungan. Kritik Mazhab Frankfurt mengingatkan bahwa rasionalitas instrumental dalam pengelolaan tambang tidak mampu menyelesaikan krisis ekologi fundamental

Lebih mengerucut wilayah Jawa Timur, kenyataan yang terjadi sebagai dampak pertambangan di Jember menggambarkan kesenjangan antara janji green mining dengan kerusakan ekologis yang nyata terjadi di kawasan Silo, Puger, dan sekitarnya. Kasus penambangan batu kapur di Gunung Sadeng Puger telah mengakibatkan gangguan pernapasan warga dan kerusakan ekosistem yang signifikan[6].  Etika tanggung jawab Hans Jonas dapat digunakan untuk menelaah bahwa eksploitasi alam di kawasan Jember yang notabene merupakan daerah agro justru mengancam keberlanjutan sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah.[7] Sejumlah studi lingkungan Jember menguraikan potensi kerusakan ekosistem yang lebih besar mengingat kawasan ini memiliki area pertanian dan perkebunan yang luas. Konflik pertambangan mangan di Dusun Curah Wungkal telah menimbulkan risiko banjir dan longsor yang mengancam pemukiman warga.[8]

Filosofi deep ecology dari Arne Naess mampu mendasari kerangka argumentasi bahwa kawasan agro Jember memiliki nilai intrinsik yang tidak dapat direduksi menjadi sekadar lokasi tambang.[9] Pengalaman penolakan izin tambang emas di Kecamatan Silo pada 2018 yang memicu gerakan sosial masif membuktikan kesadaran masyarakat mengenai dampak negatif pertambangan.[10] Konsep environmental justice dari Robert Bullard menegaskan bahwa kerusakan lingkungan akibat pertambangan telah berdampak tidak proporsional pada komunitas petani dan masyarakat pedesaan. Berangkat dari uraian kritis tersebut, bukanlah hal yang berlebihan ketika masyarakat sipil mempertanyakan sikap dan keberpihakan seluruh pimpinan perguruan tinggi negeri maupun swasta yang beroperasi di Jember. Bagaimana tidak? faktanya sejumlah Rektor tersebut diantaranya tercatat sebagai Pengurus Harian dalam Forum Rektor Indonesia, oleh sebab itu hanya pernyataan resmi Universitas yang dapat menjawab kegelisahan masyarakat sipil.

Wacana pemberian izin WIUP kepada perguruan tinggi melalui revisi RUU Minerba harus ditolak demi mempertahankan integritas dan independensi akademik. Ilusi penurunan UKT melalui pengelolaan tambang merupakan trade-off yang terlalu mahal mengingat potensi kerusakan ekologis dan sosial yang ditimbulkan. Memperhatikan konteks berbagai daerah seperti Kabupaten Jember sebagai kawasan agro sangat cukup menjadi bukti bahwa aktivitas pertambangan seringkali bertentangan dengan kepentingan masyarakat lokal dan keberlanjutan lingkungan. Perguruan tinggi seharusnya memperkuat perannya sebagai pengawal moral dan intelektual dalam mengkritisi dampak industri ekstraktif, bukan justru menjadi bagian dari sistem yang berpotensi merusak. Mengutip kritik tajam Yustinus Prastowo, keterlibatan kampus dalam pengelolaan tambang sama dengan “menggadaikan kebebasan akademik dan marwah kampus sebagai kekuatan intelektual di hadapan modal.” Sikap tegas Rektor UII Dr. Fathul Wahid dalam menolak wacana ini patut menjadi teladan bagi pemimpin perguruan tinggi lainnya. Forum Rektor Indonesia perlu mengevaluasi kembali posisinya dan mengutamakan kepentingan jangka panjang pendidikan tinggi dan keberlanjutan lingkungan. Alternatif pendanaan perguruan tinggi harus dicari melalui cara-cara yang memperhatikan dampak jangka panjang dan tidak mengkompromikan integritas akademik. Idealnya, seluruh perguruan tinggi Indonesia berdaulat dalam menolak wacana yang berpotensi mengorbankan masa depan generasi mendatang demi keuntungan ekonomi jangka pendek.

***

[1] Duncan Kennedy, “Form and Substance in Private Law Adjudication” (2017) 113 The Sociology of Law Classical and Contemporary Perspectives 415.

[2] James B Stewart, “Book Review: Dumping in Dixie: Race, Class, and Environmental Quality” (1991) 20 The Review of Black Political Economy 105.

[3] Roberto Mangabeira Unger, “The Critical Legal Studies Movement” (1983) 96 Harvard Law Review 561.

[4] Abdul Kodir, “Corporate Social Responsibility (CSR), Ideologi dan Keberpihakan di Indonesia: Telaah Teori Kritis Madzhab Frankfurt” (2016) 1 Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis 149.

[5] Marinus Gea and others, “Genealogy of Green Mining in Europe and Asia” (2024) 1323 IOP Conference Series: Earth and Environmental Science.

[6] M Abdul Gofur dan I Gede Astra Wesnawa, “Dampak Ekologi Penambangan Batu Kapur Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Semen Di Gunung Sadeng Kecamatan Puger, Kabupaten Jember” (2018) 6 Jurnal Pendidikan Geografi Undiksha 163.

[7] Hans Jonas, The imperative of responsibility: in search of an ethics for the technological age, vol 11 (University of Chicago Press 1984).

[8] Sri Imawati and others, “Perkembangan Tambang Manga ’ an Di Dusun Curah Wungkal Kecamatan Silo : Studi Konflik Pertambangan Di Desa Pace Kabupaten Jember Tahun 2008-2009 Mine Development Manganese in Curah Wungkal Hamlet Silo Subdistrict Mining Conflict Studies in the Pace Villag” [2009] Artikel Ilmiah Mahasiswa 1.

[9] Clara Olmedo dan Iñaki Ceberio de León, “The Manfred Max-Neef Thinking: A Deep Economy Rooted in the Eco-philosophical Perspective of the Deep Ecology” (2023) 38 The Trumpeter 46.

[10] Muhammad Arif Arifin, “GERAKAN SOSIAL DAN PERUBAHAN KEBIJAKAN : STUDI KASUS GERAKAN MASYARAKAT SILO DALAM PENCABUTAN IZIN USAHA TAMBANG EMAS DI JEMBER” 1.

Daftar Pustaka

  • Arifin MA, “GERAKAN SOSIAL DAN PERUBAHAN KEBIJAKAN : STUDI KASUS GERAKAN MASYARAKAT SILO DALAM PENCABUTAN IZIN USAHA TAMBANG EMAS DI JEMBER” 1
  • Gea M And Others, “Genealogy Of Green Mining In Europe And Asia” (2024) 1323 IOP Conference Series: Earth And Environmental Science
  • Gofur MA Dan Wesnawa IGA, “Dampak Ekologi Penambangan Batu Kapur Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Semen Di Gunung Sadeng Kecamatan Puger, Kabupaten Jember” (2018) 6 Jurnal Pendidikan Geografi Undiksha 163
  • Imawati S And Others, “Perkembangan Tambang Manga ’ An Di Dusun Curah Wungkal Kecamatan Silo : Studi Konflik Pertambangan Di Desa Pace Kabupaten Jember Tahun 2008-2009 Mine Development Manganese In Curah Wungkal Hamlet Silo Subdistrict Mining Conflict Studies In The Pace Villag” [2009] Artikel Ilmiah Mahasiswa 1
  • Jonas H, The Imperative Of Responsibility: In Search Of An Ethics For The Technological Age, Vol 11 (University Of Chicago Press 1984)
  • Kennedy D, “Form And Substance In Private Law Adjudication” (2017) 113 The Sociology Of Law Classical And Contemporary Perspectives 415
  • Kodir A, “Corporate Social Responsibility (CSR), Ideologi Dan Keberpihakan Di Indonesia: Telaah Teori Kritis Madzhab Frankfurt” (2016) 1 Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis 149
  • Olmedo C Dan Ceberio De León I, “The Manfred Max-Neef Thinking: A Deep Economy Rooted In The Eco-Philosophical Perspective Of The Deep Ecology” (2023) 38 The Trumpeter 46
  • Stewart JB, “Book Review: Dumping In Dixie: Race, Class, And Environmental Quality” (1991) 20 The Review Of Black Political Economy 105
  • Unger RM, “The Critical Legal Studies Movement” (1983) 96 Harvard Law Review 561

***

*) Penulis adalah Alumnus S-1 Ilmu Hukum Universitas Jember

**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi radarbaru.com