Penulis: Febilita Afra Mutiara Sufy*
Di tengah semangat demokrasi yang menjanjikan kebebasan berekspresi, kini muncul kekhawatiran baru; apakah menyampaikan pendapat masih aman di ruang digital kita?; Kritik bisa masuk penjara?; Lalu demokrasi gunanya apa?
Pertanyaan yang terdengar dramatis, tapi ini nyata. Hal seperti itu sudah sering terjadi di Indonesia. Adanya kebebasan berekspresi rakyat sekarang menjadi hal yang rentan di media internet. Sosial Media yang dulu digunakan sebagai tempat untuk berekspresi, saling bertukar pikiran dan bertukar informasi, kini menjadi hal yang ditakuti, tempat bullying hingga kriminalisasi.
Kita berada pada era dimana satu postingan bisa berakhir di penjara. Bukan hanya hal menyebarkan kebencian tetapi juga karena menyuarakan kegelisahannya. Pada tahun 2023, Bima Yudho Saputro, seorang mahasiswa dari Lampung, menjadi perhatian publik setelah video yang mengkritik kondisi infrastruktur daerahnya menjadi viral di TikTok.
Imbas dari hal itu, keluarganya dikunjungi oleh pihak berwenang, dan ia dilaporkan ke polisi oleh orang-orang yang merasa tidak senang. Padahal itu mencerminkan rasa cemas masyarakat yang sesungguhnya. Di dalamnya tidak terdapat seruan untuk kekerasan atau penipuan, hanya sekedar pandangan. Akan tetapi, sebagaimana yang ia ungkapkan dalam sebuah wawancara, “Saya tidak menyerang siapapun. Saya hanya menyampaikan fakta yang saya amati”.
Situasi serupa juga terjadi pada seorang mahasiswi dari Universitas Lambung Mangkurat, yang dipanggil oleh polisi setelah mengunggah video TikTok yang berisi sindiran terhadap Pancasila. Kedua insiden ini menunjukkan bahwa media sosial semakin dianggap sebagai ruang yang bersih dari kritik, alih-alih sebagai tempat bagi warga untuk mengekspresikan aspirasi mereka.
Fenomena ini mencerminkan adanya ketidakbenaran dalam cara negara menangani kritik dari masyarakat. Namun justru dengan langkah-langkah represif seperti pemanggilan, laporan, atau penegakan hukum. Ini memperlihatkan bahwa pendekatan pemerintah masih bersifat otoriter dan tidak terbiasa menghadapi aspirasi dari masyarakat.
Undang Undang Informasi dan Transasksi Elektronik yang awalnya di fungsikan untuk mengatur dan melindungi informasi dan transaksi elektronik, kini sering di salahgunakan sebagai tindakan penindasan, seperti pasal pasal karet “pencemaran nama baik” (Pasal 27 ayat 3) UU ITE, “penghinaan”, dan “ujar kebencian” menjadi senjata dalam menutupi suara suara kritis, hal tersebut dipraktikan berdasarkan pandangan pribadi bukan bukti nyata. Kritik yang valid mengenai pelayanan publik, kebijakan pemerintahan, dan perilaku para pejabat seharusnya dapat dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
Peristiwa ini dapat beresiko ketakutan kolektif, di tempat di mana setiap orang yang mengungkapkan pandangan dapat berisiko untuk dilaporkan, ditangkap, atau dikenakan sanksi hukum. Negara tampaknya memiliki sarana yang sah untuk mengekang kebebasan untuk berpendapat, dan masyarakat pun terpaksa menahan diri demi memenuhi rasa “aman” dalam perspektif hukum.
Masalah yang dihadapi tidak hanya terletak pada UU ITE yang merupakan hasil hukum dengan banyak interpretasi, tetapi juga terkait dengan budaya otoriter yang tak kunjung sirna. Kita kerap disuguhkan pandangan bahwa hak untuk mengungkapkan pendapat dijamin, meskipun kenyataannya berbeda. Saat negara merasa terancam dengan cepat, dan masyarakatnya gampang melaporkan, maka kebebasan demokrasi sedang menghadapi risiko yang signifikan.
Lebih buruk lagi, situasi ini menghasilkan dampak yang dikenal sebagai Chilling Efect, dalam artikel Wikipedia tercantum bahwa Chilling Effect adalah “sebuah istilah yang dipakai untuk menggambarkan ketakutan publik yang timbul akibat ketidakjelasan hukum atau peraturan perundang-undangan”. Dalam konteks Indonesia, fenomena ini terlihat melalui banyaknya individu yang aktif di media sosial tetapi memilih untuk tetap diam ketimbang menghadapi potensi hukuman. Saat masyarakat mulai merasa takut untuk menyampaikan keluhan, memposting kritik, atau bahkan hanya menyentil situasi, maka hak untuk berekspresi tidak hanya menjadi terbatas—ia juga dihentikan secara sadar.
Efek ini lebih berisiko dibanding penindasan yang jelas. Apabila seseorang dilarang untuk berbicara oleh pemerintah, hal itu bisa dilawan melalui jalur hukum atau mendapatkan dukungan dari masyarakat. Namun, saat masyarakat memutuskan untuk tetap diam karena rasa takut, tidak ada hukum yang dilanggar, tidak ada keramaian, tidak ada perlawanan—yang tersisa hanyalah keheningan.
Sosial Media semestnya menjadi iarena alternatif, di mana setiap individu dapat mengekspresikan harapan tanpa perlu menunggu kesempatan untuk berbicara. Dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, memberikan kritik tidak dianggap sebagai kebencian, melainkan sebagai bentuk partisipasi. Mengungkapkan ketidakpuasan mengenai kondisi jalan yang diperburuk, menyampaikan ketidaknyamanan atas keputusan yang diambil, atau mengejek kekonyolan dalam dunia politik seharusnya tidak menjadi alasan untuk dijadikan sebagai pelanggaran hukum.
Era digital ini, suara rakat selayaknya tidak terganggu oleh hambatan birokrasi atau mikrofon yang hanya untuk orang tertentu saja. Sosial media yang semestinya untuk tempat menunjang demokrasi, alih alih menciptakan ketakutan di kalangan pengguna melalui intimidasi hokum. Apabila kritik dipandang sebagai suatu kesalahan, lantas siapa yang akan menjamin bahwa pendapat masyarakat tetap ada dan dapat didengar?
Pada intinya, hak untuk menyatakan pendapat bukan sekadar tentang hak pribad, melainkan juga berkaitan dengan memelihara ruang publik agar selalu berkembang dan bermakna.
***
*) Penulis adalah Mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Peradaban.
**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi radarbaru.com