Radar Baru, Opini – Transisi energi kerap dibicarakan dalam forum internasional, konferensi iklim, atau seminar akademis. Namun, sering kali pembicaraan itu berhenti pada ruang elite, tanpa menjelaskan bagaimana rakyat akan terlibat secara nyata. Padahal, energi bukan sekadar komoditas bisnis; energi adalah hak dasar warga negara. Akses terhadap energi bersih dan terjangkau adalah bagian dari keadilan sosial. Jika transisi energi hanya menjadi proyek elite, maka rakyat hanya akan menjadi penonton yang pasif, sementara beban ekonomi mereka tetap sama atau bahkan bertambah. Transisi semacam itu jelas tidak adil dan akan kehilangan legitimasi moral di mata masyarakat.

Persoalan keadilan energi harus ditempatkan di depan, bukan di belakang. Hari ini, masih ada desa-desa yang gelap pada malam hari, sementara di kota-kota besar muncul jargon energi hijau dengan biaya tinggi. Kontradiksi ini menunjukkan adanya jurang akses. Apakah transisi energi akan menyelesaikan masalah ini atau justru memperlebar ketidakadilan? Di sinilah pentingnya kebijakan yang tidak hanya mengejar target bauran energi, tetapi juga memastikan bahwa rakyat kecil merasakan manfaat langsung. Energi terbarukan tidak boleh menjadi barang mewah yang hanya dinikmati kelas menengah kota, tetapi harus menjadi kebutuhan dasar yang dijangkau petani, nelayan, dan komunitas di daerah terpencil.

Jika kita bicara logika politik energi, maka transisi energi sejatinya adalah kontrak sosial baru. Negara tidak sekadar mengalihkan sumber listrik dari batu bara ke surya atau angin, tetapi juga sedang mengubah cara warga berhubungan dengan energi. Dalam kontrak baru itu, rakyat bukan objek, melainkan subjek. Mereka berhak menentukan prioritas, ikut dalam pengambilan keputusan, dan bahkan memiliki peran dalam produksi energi. Skema panel surya atap, mikrohidro desa, hingga koperasi energi adalah bentuk konkret yang bisa memastikan partisipasi warga. Tanpa itu, transisi energi hanya menjadi proyek investor besar yang dipoles dengan narasi lingkungan.

Pertamina, dalam konteks ini, memegang peran strategis. Selama puluhan tahun, Pertamina identik dengan minyak dan gas. Kini, perusahaan negara itu dituntut menjadi motor penggerak energi baru dan terbarukan. Namun, penguatan EBT oleh Pertamina tidak boleh hanya dimaknai sebagai diversifikasi bisnis, melainkan juga sebagai tanggung jawab sosial. Pertamina harus hadir tidak hanya dalam proyek raksasa, tetapi juga di tengah rakyat, membantu desa membangun listrik tenaga surya, memberi akses biogas murah untuk rumah tangga, dan mendukung industri kecil yang ramah lingkungan. Dengan begitu, Pertamina bisa menunjukkan bahwa transisi energi tidak identik dengan liberalisasi, melainkan penguatan kedaulatan energi nasional.

Keadilan energi juga berarti harga yang terjangkau. Jangan sampai transisi energi menghasilkan listrik hijau yang harganya lebih mahal dari listrik fosil, sehingga membebani rakyat. Logikanya sederhana: transisi energi yang benar adalah transisi yang menurunkan biaya hidup masyarakat, bukan menambah. Oleh karena itu, desain insentif, regulasi, dan mekanisme subsidi harus diarahkan agar harga listrik dari energi terbarukan kompetitif. Di sini negara tidak boleh menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Negara punya kewajiban konstitusional untuk hadir dan memastikan energi terbarukan tidak eksklusif.

Selain harga, partisipasi warga dalam pengambilan keputusan menjadi kunci. Kebijakan energi tidak boleh lahir di ruang tertutup, hanya ditentukan oleh teknokrat, investor, dan regulator. Rakyat harus punya ruang deliberasi, misalnya melalui konsultasi publik yang nyata, bukan sekadar formalitas. Jika masyarakat dilibatkan sejak awal, maka mereka akan merasa memiliki transisi energi itu. Sebaliknya, jika mereka merasa hanya diberi keputusan sepihak, resistensi sosial akan muncul. Transisi energi bukan hanya soal teknologi, melainkan juga soal demokrasi.

Kita juga harus berpikir lebih luas: transisi energi bukan sekadar memenuhi komitmen internasional, melainkan kesempatan untuk membangun ekonomi baru. Jika rakyat dilibatkan, mereka tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen energi. Desa bisa menjual listrik ke PLN, koperasi bisa mengelola bioenergi, komunitas bisa mengembangkan usaha panel surya. Dengan begitu, transisi energi menjadi motor pemerataan ekonomi, bukan sekadar ladang investasi segelintir kelompok. Logika ini harus dihidupkan agar keadilan energi tidak berhenti sebagai jargon.

Pada akhirnya, transisi energi yang adil adalah transisi yang menempatkan rakyat sebagai pusat. Pertamina dan negara harus memastikan energi baru dan terbarukan hadir di seluruh lapisan masyarakat, dengan harga terjangkau, akses merata, dan ruang partisipasi terbuka. Jangan biarkan rakyat hanya jadi penonton dari panggung besar yang dimainkan elite. Sebab, energi adalah hak, bukan hadiah. Transisi energi yang adil akan memperkuat kedaulatan bangsa, sekaligus memperlihatkan bahwa Indonesia tidak hanya mampu mengikuti arus global, tetapi juga menciptakan model sendiri: transisi yang demokratis, partisipatif, dan berkeadilan.

 

*) Penulis adalah Akril Abdillah, Sekjen Visioner.