Penulis: Siti Iramaya*

Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial yang unik, diterapkan dalam kancah politik dengan sistem multipartai yang sangat terfragmentasi. Kombinasi ini, yang oleh banyak ahli politik dianggap sebagai “perpaduan yang rumit dan berbahaya,” menciptakan dinamika politik yang tak terhindarkan, ketegangan konstan antara kebutuhan akan dukungan mayoritas di parlemen demi stabilitas, dan risiko transaksional politik yang membuka celah lebar bagi praktik korupsi.

Keadaan Indonesia saat ini merefleksikan secara jelas pergulatan ini, di mana upaya mencapai pemerintahan yang efektif seringkali harus dibayar mahal dengan akomodasi kepentingan partai yang berpotensi melanggengkan korupsi.

Dilema Stabilitas: Koalisi Gemuk sebagai Keniscayaan

Secara konstitusional, sistem presidensial menjanjikan stabilitas eksekutif karena presiden dipilih langsung oleh rakyat dan tidak bergantung pada mosi tidak percaya parlemen. Namun, realitas sistem multipartai pasca-Reformasi mengubah janji ini menjadi tantangan. Dengan banyaknya partai politik yang bersaing dan ambang batas pencalonan presiden yang tinggi (Presidential Threshold), seorang calon presiden hampir mustahil memenangkan kursi tanpa membentuk koalisi partai yang besar.

Di Indonesia saat ini, koalisi yang mendukung pemerintah cenderung menjadi sangat “gemuk” atau inklusif. Tujuannya tunggal yaitu memastikan dukungan mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa presiden yang hanya didukung oleh minoritas di legislatif rawan mengalami hambatan legislasi, bahkan ancaman pemakzulan. Oleh karena itu, koalisi yang kuat menjadi keniscayaan politik untuk mencapai stabilitas dan efektivitas dalam menjalankan program pemerintahan, terutama dalam mengesahkan anggaran dan undang-undang.

Ironisnya, stabilitas yang dicapai melalui koalisi gemuk ini bersifat pragmatis dan rapuh. Koalisi seringkali didasarkan pada pembagian kekuasaan dan jabatan, bukan pada kesamaan ideologi atau platform kebijakan yang solid. Partai-partai yang tergabung dalam koalisi dapat saja menyeberang atau membentuk oposisi dalam isu-isu tertentu, menciptakan fenomena yang disebut “presidensialisme kompromis” atau bahkan “parlementarisasi presidensialisme,” di mana presiden yang seharusnya kuat justru terikat oleh kepentingan-kepentingan partai koalisi.

Gerbang Korupsi: Politik Akomodasi dan Oligarki

Titik kritis dari presidensialisme multipartai terletak pada hubungan antara stabilitas yang rapuh ini dengan masalah korupsi. Korupsi politik di Indonesia seringkali merupakan hasil implisit dari upaya menjaga koalisi.

Untuk mempertahankan dukungan partai-partai agar tidak membentuk oposisi atau menggoyang pemerintahan di parlemen, presiden cenderung menggunakan hak prerogatifnya untuk mengakomodasi kepentingan politik mereka, terutama melalui pembagian jatah kursi kabinet dan jabatan-jabatan strategis lainnya.

Jatah Jabatan dan Praktik Oligarki

Proses pembagian kekuasaan ini menciptakan lingkungan yang subur bagi korupsi. Ketika kursi kabinet atau jabatan di perusahaan milik negara (BUMN) dijadikan “kompensasi politik” bagi partai koalisi, kualitas dan integritas calon pejabat seringkali dikesampingkan demi kepentingan politik. Pejabat yang diangkat melalui jalur ini berpotensi besar untuk mengutamakan kepentingan partai atau kelompoknya (atau bahkan kepentingan pribadi) daripada kepentingan publik.

Lebih jauh, sistem multipartai yang terfragmentasi ini telah memfasilitasi menguatnya oligarki politik dan bisnis. Banyak partai politik yang dikendalikan oleh segelintir elit dengan modal besar. Elit-elit ini menggunakan partai sebagai kendaraan untuk mendapatkan akses ke kekuasaan negara, yang kemudian mereka manfaatkan untuk mengamankan kepentingan ekonomi pribadi atau kelompok. Di bawah naungan koalisi gemuk, kepentingan oligarki ini dapat berjalan mulus karena mereka memiliki perwakilan di lembaga eksekutif (kabinet) dan legislatif (DPR).

Akibatnya, kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara dan anggota DPR, seperti suap dan penyalahgunaan wewenang terkait proyek-proyek besar atau perizinan, menjadi sorotan yang terus menerus. Sulitnya penyelesaian kasus korupsi politik berskala besar seringkali dihubungkan dengan adanya perlindungan atau intervensi politik dari internal koalisi atau jaringan oligarki yang kuat. Hal ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap demokrasi dan lembaga negara.

Kondisi Indonesia Saat Ini: Stabilitas Semu dan Darurat Integritas

Dalam dekade terakhir, Indonesia menunjukkan tingkat stabilitas politik yang relatif tinggi dibandingkan dengan periode awal Reformasi. Pemerintahan mampu menyelesaikan masa jabatannya dan relatif sukses dalam mengesahkan berbagai undang-undang prioritas. Namun, stabilitas ini seringkali terasa semu, dibangun di atas fondasi akomodasi politik dan konsesi kekuasaan.

Di sisi lain, tantangan integritas kian mengemuka. Meskipun lembaga anti-korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah bekerja keras, indeks persepsi korupsi Indonesia masih stagnan dan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini menggarisbawahi bahwa perbaikan struktural dalam sistem politik belum mampu membendung laju korupsi yang dipicu oleh mekanisme pertukaran kepentingan dalam presidensialisme multipartai.

Menimbang Alternatif dan Reformasi Sistem

Untuk mengatasi dilema ini, Indonesia harus melakukan reformasi lebih jauh pada sistem presidensial multipartai. Misalnya, penguatan aturan mengenai pembentukan koalisi, pengawasan ketat terhadap akses kekuasaan partai, serta peningkatan fungsi oposisi dalam sistem politik. Ada pula usulan reformasi pemilu yang lebih adaptif, guna mengatasi fragmentasi partai dan memperkuat posisi parlemen sebagai pengawas pemerintahan. Sistem threshold yang lebih efektif dan pemilu yang tidak serentak mungkin dapat mengurangi praktek kompromi berlebihan yang membuka ruang korupsi.

Presidensialisme multipartai di Indonesia adalah pedang bermata dua. Ia menyediakan stabilitas yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahan di negara yang majemuk, namun secara simultan menciptakan pintu masuk bagi korupsi melalui politik akomodasi dan oligarki.

Selama mekanisme politik untuk mencapai stabilitas ini masih melibatkan pertukaran jabatan dengan dukungan, maka perang melawan korupsi akan selalu menjadi pertempuran yang sulit dimenangkan. Stabilitas tanpa integritas adalah ilusi kemajuan.

Indonesia perlu menemukan keseimbangan baru yaitu sistem presidensial yang kuat, didukung oleh partai-partai yang berorientasi pada kepentingan publik, bukan pada kepentingan pribadi atau oligarki.

***

*) Penulis adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang Serang.

**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi radarbaru.com