Radar Baru, Opini – Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam demokrasi untuk memastikan akuntabilitas kepemimpinan. Hal ini dapat diartikan sebagai alaram tersendiri bagi seseorang yang sedang atau akan menduduki jabatan dalam suatu negara bahwa dalam bernegara hukum itu akan selalu ada aturan yang mengikatnya dan dibalik itu akan selalu ada sanksi yang menunggu apabila terdapat suatu pelanggaran, tanpa terkecuali bilamana itu dilakukan oleh seorang Presiden dan/atau wakil Presiden, termasuk di Indonesia tercinta ini.
Di Indonesia, perihal ini dapat ditemukan dalam UUD NRI 1945, khususnya Pasal 7A dan 7B. Selain dalam UUD NRI 1945 ini tentunya masih ada peraturan lainnya yang juga berkaitan dengan ini, semisal yang terdapat di MK dan DPR. Perihal Pemberhentian ini bukanlah hal yang sederhana meski secara jelas tertuang dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang ada sebab ini melibatkan lebih dari satu Lembaga negara dalam menentukan apakah Pemberhentian ini bisa dilakukan atau tidak.
Berkaca pada UUD NRI 1945 menyatakan Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan MPR atas usulan DPR, setelah proses di Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa alasan atas Pemberhentian ini dapat terjadi bilamana adanya: pelanggaran hukum (pengkhianatan negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya), perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat. Interpretasi atas “tindak pidana berat lainnya” dan “perbuatan tercela” memang masih menjadi suatu hal yang tentunya mengundang perdebatan sehingga menuntut kehati-hatian untuk meminimalisir ambiguitas yang ada terkait ini, maka sebenarnya disinilah peran MK sebagai penjaga konstitusi menjadi krusial.
Bagaimana Proses Pemberhentian itu dilakukan?
Secara sederhana, Prosesnya ini akan melibatkan tiga lembaga utama yakni:
- DPR: Akan mengajukan usuan pemberhentian seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila DPR berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela. Pendapat DPR ini harus diajukan oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna, dan putusan untuk mengajukan kepada MK harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir, setelah jumlah kehadiran mencapai sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
- Mahkamah Konstitusi akan Memeriksa, mengadili, dan memutus apakah alasan pemberhentian terbukti atau tidak. Putusan MK ini final dan mengikat, namun hanya sebatas putusan “terbukti” atau “tidak terbukti”, bukan memberhentikan.
- MPR: Jika MK menyatakan terbukti, DPR mengajukan kepada MPR untuk bersidang. MPR akan memutuskan pemberhentian dalam Sidang Paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota, dan putusan persetujuan untuk memberhentikan harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Meskipun secara normatif mekanisme pemberhentian ini nampak jelas, namun jangan lupa bahwa mekanisme ini punya tantangan tersendiri dalam implementasinya. Interpretasi alasan pemberhentian seringkali menjadi arena “pertarungan” kepentingan politik, menuntut kehati-hatian agar tak disalahgunakan. Independensi MK juga krusial, karena putusannya sangat menentukan nasib kepemimpinan nasional.
Sejenak, mari kita kembali kebelakang dimana kita bisa melihat bagaimana dinamika pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 2001. Walaupun prosesnya tidak sama persis dengan mekanisme Pemberhentian pasca-amandemen UUD 1945, setidaknya kitab bisa menyaksikan bahwa Gus Dur menunjukkan bagaimana friksi politik antara legislatif dan eksekutif dapat memicu upaya pemberhentian, yang saat itu berujung pada Sidang Istimewa MPR. Dari sini setidaknya bisa dijadikan sebagai Pelajaran berharga tentang betapa rentannya stabilitas politik ketika proses hukum dan politik bertemu.
Berangkat dari berbagai pengalaman dimasa sebelumnya, pasca amandemen UUD NRI 1945 mekanisme terkait Pemberhentian Presiden dan/atau Presiden ini dibuat menjadi lebih terstruktur dan melibatkan MK sebagai penafsir konstitusi, sehingga potensi pemberhentian ini bisa menjadi lebih proporsional, terukur yang mana kemungkinan ambiguitas dan dampak negatifnya itu bisa diminimalisir. Namun, dampak politik dari Pemberhentian tetap sangat besar, berpotensi menciptakan instabilitas. Oleh sebab itu, segala pihak terkait bertanggung jawab untuk menjaga proses ini tetap dalam koridor konstitusi dan supremasi hukum.
Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden di Indonesia sangat diperlukan dalam suatu kehidupan bernegara untuk memastikan bahwa Negara ini akan dipimpin oleh orang-orang yg memang layak menduduki jabatan tersebut. Keberhasilan dari proses pemberhentian itu sangat bergantung pada komitmen kita bersama terkhusus Lembaga-lembga terkait langsung dengan hal ini agar mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang ada secara konsisten, adil, dan bertanggung jawab. Dengan begitu, Pemberhentian dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan bisa meminimalisir perpecahan yang bisa ditimbulkan dalam kehidupan bernegara.
*) Penulis adalah Muhammad Sofyan Jalal, S.H, M.H, Dosen FISIPHUM UNIVERSITAS SULAWESI BARAT.