Radar Baru, Bogor – Derasnya hujan yang mengguyur kawasan Puncak sejak Sabtu malam, 5 Juli 2025, menyebabkan longsor dan banjir di sedikitnya 48 titik di wilayah Kabupaten Bogor. Tiga orang dilaporkan meninggal dunia, satu orang masih hilang, dan lebih dari 400 warga terdampak secara langsung.
Tragedi ini kembali membuka luka lama tentang kerentanan ekologis wilayah Bogor, khususnya kawasan Puncak yang selama bertahun-tahun mengalami tekanan luar biasa akibat alih fungsi lahan, pembangunan tak terkendali, dan minimnya perhatian terhadap konservasi lingkungan.
Menanggapi hal ini, Uwais Thoriq Nabhan, Koordinator Isu Lingkungan Aliansi BEM Se-Bogor, menyampaikan pandangannya dalam wawancara bersama media. Ia menilai bahwa apa yang terjadi bukan sekadar bencana alam biasa, melainkan akumulasi dari krisis lingkungan struktural yang terus diabaikan.
“Saya ingin tegaskan: ini bukan musibah biasa. Ini adalah bentuk nyata dari kegagalan tata kelola ruang hidup yang adil dan berkelanjutan. Setiap tahun kita saksikan banjir dan longsor, tapi solusi yang hadir hanya tambal sulam. Kita tidak menyelesaikan akar masalahnya,” ujar Uwais.
Menurut Uwais, kawasan Puncak semestinya menjadi penyangga ekosistem dan daerah resapan yang vital bagi Bogor dan wilayah Jabodetabek. Namun kenyataannya, pembangunan vila, resor, dan properti komersial terus dibiarkan merangsek ke lereng-lereng perbukitan yang seharusnya dijaga ketat.
“Puncak itu bukan sekadar objek wisata, dia adalah benteng ekologis yang menjaga stabilitas air, tanah, dan udara. Ketika benteng itu kita rusak dengan pembangunan yang rakus dan sembrono, maka longsor dan banjir hanya tinggal tunggu waktu,” jelasnya.
Uwais juga menyampaikan kritik keras terhadap lemahnya regulasi dan pengawasan pemerintah daerah terhadap alih fungsi lahan. Ia menyebut banyak izin bangunan dikeluarkan tanpa mempertimbangkan risiko lingkungan jangka panjang, dan belum adanya moratorium konkret terhadap pembangunan di kawasan rawan bencana.
Namun, tidak berhenti pada kritik, Uwais juga menyampaikan sejumlah solusi yang konstruktif dan aplikatif, antara lain:
1. Moratorium Izin Pembangunan di Kawasan Rawan Longsor
“Pemerintah harus menghentikan sementara semua izin pembangunan baru di lereng-lereng rawan longsor, khususnya di Puncak. Kita butuh jeda untuk mengevaluasi tata ruang secara menyeluruh.”
2. Audit Tata Ruang dan Penegakan Hukum
“Harus ada audit menyeluruh terhadap penggunaan lahan yang menyimpang dari RTRW. Jika ditemukan pelanggaran, cabut izinnya, dan beri sanksi nyata. Jangan hanya wacana.”
3. Restorasi Kawasan Hijau dan Daerah Resapan
“Program penghijauan yang selama ini simbolik harus ditransformasikan menjadi gerakan restorasi ekologis berbasis masyarakat. Libatkan komunitas lokal dan pemuda.”
4. Pemanfaatan Teknologi dan Data Lingkungan
“Kita sudah masuk era digital. Pemerintah dan komunitas perlu membangun sistem pemantauan risiko bencana secara real-time berbasis data spasial. Ini bisa mencegah jatuhnya korban lebih banyak.”
Dalam wawancara ini, Uwais juga menyerukan pentingnya peran aktif mahasiswa dan pemuda dalam mendorong perubahan kebijakan dan praktik lingkungan.
“Kita bukan hanya generasi pewaris bencana, kita harus jadi generasi pengubah arah. Aliansi BEM Se-Bogor selama ini telah aktif menyuarakan berbagai isu lingkungan, dan ke depan kami siap mengonsolidasikan kekuatan mahasiswa untuk mendorong advokasi kebijakan yang lebih berani dan progresif.”
Di akhir wawancara, Uwais menyampaikan pesan reflektif yang menggugah, bukan hanya sebagai aktivis lingkungan, tetapi sebagai warga Bogor yang mencintai kotanya dengan nurani dan akal sehat.
“Saya tidak berbicara atas nama institusi, tapi atas nama kemanusiaan. Kalau kita terus diam, nanti bukan hanya Puncak yang longsor, tapi juga akal sehat kita. Dan bila itu terjadi, maka bencana bukan lagi dari alam, tapi dari hati kita yang sudah beku.”
“Bogor sudah cukup basah oleh air hujan. Jangan kita tambah basah oleh air mata yang bisa dicegah.”