Radar Baru, Opini – Gen z sering mendapat julukan “generasi pemalas”, “generasi rebahan”, atau “generasi instan”. Label-label itu sering muncul dari orang-orang yang melihat permukaan saja, tanpa tahu realita yang sebenarnya. Faktanya, banyak gen z justru bekerja lebih cerdas, lebih adaptif, dan peduli dengan keseimbangan hidup mereka. Mereka sadar bahwa produktivitas tidak selalu ditentukan oleh jam kerja panjang atau lembur nonstop, tetapi oleh cara mengatur waktu, energi, dan prioritas hidup.
Kenapa Work-Life Balance penting bagi Gen Z
Bagi banyak gen z, work-life balance bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan nyata. Di era digital ini, garis antara pekerjaan dan kehidupan pribadi sering kali blur. Email kantor bisa masuk di tengah malam, chat grup kerja tidak pernah berhenti, dan media sosial membuat orang selalu membandingkan diri dengan kesuksesan orang lain. Tekanan ini membuat banyak gen z mulai mempertanyakan cara kerja konvensional: apakah bekerja nonstop benar-benar menjamin kesuksesan?
Tantangan Work-Life Balance di Era Digital
Tantangan terbesar work-life balance bagi gen z ada di tiga hal. Pertama, ekspektasi dunia kerja yang tinggi. Perusahaan kadang menuntut fleksibilitas dan multitasking tanpa memberi batasan jelas, membuat gen z harus pintar menyesuaikan diri. Kedua, digital burnout. Bekerja selalu “online” bisa membuat mereka sulit memisahkan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ketiga, pengaruh media sosial. Melihat teman atau influencer yang tampak “selalu produktif” sering membuat gen z merasa kurang, padahal apa yang terlihat bukan realita penuh.
Strategi Gen Z untuk Menjaga Keseimbangan Hidup
Untuk menghadapi tantangan ini, gen z mengembangkan strategi tersendiri. Salah satunya adalah fleksibilitas kerja. Banyak perusahaan sekarang menyediakan opsi remote work atau jam kerja fleksibel, dan gen z memanfaatkannya sebaik mungkin. Bukan untuk bermalas-malasan, tetapi untuk mengatur waktu agar tetap produktif tanpa mengorbankan kehidupan pribadi. Misalnya, memilih bekerja dari rumah beberapa hari dalam seminggu agar bisa tetap dekat keluarga, atau memanfaatkan jam kosong untuk mengerjakan proyek pribadi.
Selain fleksibilitas, gen z juga sangat memprioritaskan time management. Belajar berkata “tidak” adalah bagian penting dari strategi ini. Mereka tahu batas kemampuan diri, sehingga tidak sembarangan menerima semua tugas. Mengatur prioritas dan fokus pada hal yang benar-benar penting membuat gen z bisa menyelesaikan pekerjaan lebih efektif dan tetap punya waktu untuk diri sendiri.
Self-Care sebagai Pondasi Produktivitas
Self-care dan kesehatan mental juga menjadi hal yang tidak bisa diabaikan. Bagi gen z, work-life balance bukan hanya soal mengatur waktu, tetapi juga energi. Mereka sadar pentingnya olahraga, tidur cukup, hobi, dan waktu bersama teman atau keluarga. Kegiatan ini bukan “membuang waktu”, tetapi investasi agar tubuh dan pikiran tetap fit, sehingga produktivitas saat bekerja tetap optimal.
Cerita nyata banyak gen z menunjukkan pendekatan ini berhasil. Misalnya, ada yang memilih menolak lembur yang tidak penting agar bisa fokus pada proyek yang lebih berdampak. Ada juga yang membagi hari untuk pekerjaan dan belajar online, sekaligus tetap memiliki waktu berkualitas bersama teman atau keluarga. Pendekatan ini seringkali menghasilkan hasil kerja yang sama bahkan lebih baik daripada bekerja nonstop, tetapi dengan tubuh dan pikiran yang lebih sehat.
Lebih jauh lagi, gen z belajar menggunakan teknologi untuk bekerja lebih cerdas. Aplikasi manajemen waktu, productivity tools, hingga AI untuk membantu pekerjaan rutin adalah bagian dari strategi mereka. Ini bukan berarti menghindari kerja keras, tetapi memaksimalkan hasil dengan cara yang efisien. mereka tidak ingin hanya “sibuk” terlihat dari luar, tetapi ingin produktif dengan cara yang sustainable.
Work-life balance juga membentuk mindset gen z terhadap karier dan hidup. Mereka tidak ingin mengejar pekerjaan hanya demi status atau gaji semata, tetapi ingin pekerjaan memiliki makna, sejalan dengan passion, dan memungkinkan mereka tetap bahagia. Banyak yang lebih memilih pekerjaan yang fleksibel dan mendukung keseimbangan hidup daripada pekerjaan dengan gaji tinggi tapi menguras energi dan waktu pribadi.
Bekerja Cerdas > Bekerja Nonstop (Hasil Nyata)
Pada akhirnya, gen z mengajarkan satu hal penting: bekerja cerdas lebih penting daripada bekerja nonstop. Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi bukan kemewahan, melainkan kebutuhan untuk menjaga produktivitas, kesehatan mental, dan kebahagiaan. Mereka menunjukkan bahwa produktivitas tidak selalu terlihat dari jam kerja panjang, tetapi dari hasil yang dicapai, cara mengatur waktu, dan kemampuan menjaga diri sendiri.
Mungkin sudah saatnya dunia memahami gen z bukan dari stereotip “pemalas” atau “rebahan”, tetapi dari cara mereka beradaptasi, bertahan, dan berkembang. Mereka adalah generasi yang diam-diam berjuang: bekerja cerdas, menjaga kesehatan mental, tetap produktif, dan tetap memiliki kehidupan pribadi yang memuaskan. Work-life balance bagi gen z bukan sekadar teori, tetapi filosofi hidup yang mereka jalani setiap hari tanpa banyak sorotan, tetapi hasilnya nyata.
Tidak bisa dipungkiri, tekanan untuk menjaga work-life balance di kalangan gen z datang dari banyak arah. selain pekerjaan dan digital burnout, ada tekanan sosial dan budaya yang membentuk persepsi mereka tentang “sukses”. Media sosial, misalnya, membuat gen z sering membandingkan diri dengan teman sebaya atau influencer yang tampak selalu produktif dan serba berhasil. Hal ini kadang memunculkan rasa cemas, takut tertinggal, atau kurang produktif. namun di sisi lain, media sosial juga menjadi sumber inspirasi dan komunitas belajar, di mana gen z saling berbagi tips mengatur waktu, menjaga kesehatan mental, dan tetap produktif.
Strategi gen z untuk menyeimbangkan kehidupan pribadi dan kerja juga sering berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka cenderung mencari efisiensi, bukan sekadar bekerja keras. Contohnya, banyak yang mengatur jadwal kerja dengan “time-blocking”, menetapkan batas jam kerja, atau menggunakan aplikasi productivity untuk mengingatkan jeda istirahat. Bahkan beberapa memanfaatkan teknologi untuk mengotomatisasi tugas rutin agar bisa fokus pada pekerjaan yang membutuhkan kreativitas dan analisis. Pendekatan ini seringkali terlihat santai dari luar, tapi hasilnya sangat efektif.
Self-care dan kesehatan mental menjadi prioritas penting. gen z memahami bahwa kesehatan fisik dan mental adalah pondasi produktivitas. Mereka meluangkan waktu untuk olahraga, meditasi, hobi, dan social bonding. Misalnya, ada yang menetapkan satu hari tanpa email kantor, ada yang membuat “digital detox” setiap akhir pekan, atau menjadikan hobi sebagai cara menyalurkan stres. semua ini bukan sekadar gaya hidup, tetapi strategi untuk menjaga keseimbangan hidup.
Fenomena Side Hustle
Fenomena “Side Hustle” juga sangat populer di kalangan gen z. Banyak yang memiliki pekerjaan utama tapi tetap menjalankan proyek sampingan, dari freelance hingga bisnis kecil. Strategi ini bukan berarti bekerja tanpa batas, tetapi cara mengembangkan kemampuan, menambah pengalaman, dan menyiapkan cadangan finansial. Side hustle sering jadi cara gen z belajar mengatur waktu, prioritas, dan mengasah skill sambil tetap menjaga pekerjaan utama.
Bagi sebagian gen z, fleksibilitas kerja menjadi faktor kunci. Remote work, hybrid schedule, dan fleksibilitas jam kerja memungkinkan mereka menyesuaikan pekerjaan dengan kehidupan pribadi. Ini bukan hanya soal kenyamanan, tapi juga strategi produktivitas: bekerja di jam-jam terbaik mereka, menjaga fokus, dan tetap punya waktu berkualitas untuk diri sendiri. Cara ini menunjukkan bahwa gen z mengutamakan kerja cerdas, bukan kerja nonstop.
Makna Karier bagi Gen Z
Lebih jauh lagi, gen z punya kesadaran tinggi terhadap nilai kerja yang bermakna. banyak yang memilih pekerjaan yang sejalan dengan passion, bukan sekadar gaji besar. Mereka ingin pekerjaan memberi dampak, pengalaman, dan kesempatan berkembang. Generasi ini mulai menilai kesuksesan bukan hanya dari materi, tapi dari kualitas hidup, kesehatan mental, dan kepuasan pribadi. Pendekatan ini mengubah cara pandang tradisional tentang karier, di mana dulu jam kerja panjang dan lembur dianggap tanda loyalitas dan produktivitas.
Kuncinya, work-life balance bagi gen z adalah kombinasi strategi, mindset, dan self-awareness. Mereka belajar memanfaatkan teknologi, menetapkan prioritas, menjaga kesehatan mental, dan tetap produktif. Label “pemalas” atau “rebahan” hanyalah kesalahpahaman dari orang luar, karena yang terlihat hanyalah permukaan. realitanya, Gen z diam-diam berjuang, membangun masa depan, dan menjaga hidup pribadi secara bersamaan.
Apa yang bisa dipelajari dari Dunia Gen Z
Pada akhirnya, dunia bisa belajar dari generasi ini. Bukan sekadar soal bekerja keras, tapi bekerja cerdas, menjaga diri sendiri, dan menghargai waktu. Gen z membuktikan bahwa produktivitas dan kebahagiaan bisa berjalan beriringan. Mereka sedang menciptakan standar baru: kehidupan yang seimbang, karier yang bermakna, dan diri yang tetap sehat. Work-life balance bukan lagi konsep abstrak, tapi filosofi hidup yang dijalani setiap hari tanpa banyak sorotan, tapi hasilnya nyata dan berdampak.
*) Penulis adalah Albayhaqqi Ilham Fujianto, Mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Pamulang.




