Penulis: Elly Shinta Herlina*

Jakarta kembali bergejolak. Ribuan mahasiswa dan masyarakat sipil memenuhi jalanan pada Maret hingga Agustus 2025 untuk menolak RUU TNI yang dianggap tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. Aksi ini bukan sekadar protes terhadap satu undang-undang, melainkan cermin dari krisis yang lebih dalam: hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap DPR sebagai lembaga perwakilan.

“DPR seolah lebih mendengar elite ketimbang rakyat,” ujar salah satu orator mahasiswa saat aksi 20 Maret lalu. Kalimat ini menyentuh inti persoalan. Demokrasi yang mestinya menjamin keterwakilan justru kian jauh dari aspirasi rakyat.

Presidensialisme dalam Cengkeraman Multipartai

Sejak reformasi, Indonesia menganut sistem presidensial di mana presiden dipilih langsung oleh rakyat. Legitimasi ini seharusnya memberi kekuatan eksekutif untuk memimpin dengan stabil. Namun, realitas politik multipartai menimbulkan paradoks. Presiden tidak pernah bisa berdiri sendiri. Ia harus membangun koalisi besar di parlemen, sering kali dengan membagi kursi menteri dan posisi strategis sebagai “jatah politik”.

Akibatnya, DPR yang semestinya menjadi pengawas justru melemah. Ketika hampir semua partai bergabung ke koalisi pemerintah, oposisi nyaris tak terdengar. Kontrol terhadap eksekutif pun kehilangan gigi. Publik melihat DPR bukan lagi sebagai penyeimbang, melainkan perpanjangan tangan pemerintah. Inilah yang memicu ledakan ketidakpercayaan dan akhirnya melahirkan gelombang demo 2025.

Demo Sebagai Koreksi Publik

Demo 2025 bukan yang pertama. Sejarah menunjukkan pola yang sama: rakyat turun ke jalan ketika merasa DPR abai terhadap aspirasi. Tahun 1998, mahasiswa menggulingkan rezim otoriter. Tahun 2019, ribuan orang menolak revisi UU KPK. Kini, 2025, protes terhadap RUU TNI menggema.

Aksi jalanan menjadi “rem darurat” demokrasi. Ketika saluran formal di parlemen tidak berfungsi, rakyat memilih suara kolektif di ruang publik. Scott Mainwaring dalam kajiannya (1993) menyebut kombinasi presidensialisme dan multipartai memang rentan melahirkan ketegangan semacam ini: presiden kuat secara legitimasi, tetapi lemah dalam praktik, sementara DPR kehilangan independensi akibat koalisi pragmatis.

Fragmentasi dan Krisis Representasi

Masalah lain yang kian terasa adalah fragmentasi partai. Ambang batas parlemen yang rendah memungkinkan banyak partai kecil masuk ke DPR. Presiden lalu membentuk “koalisi gemuk” demi meloloskan kebijakan. Namun, koalisi seperti ini rapuh karena dibangun atas dasar kepentingan jangka pendek.

Hasilnya, DPR sering terjebak pada transaksi politik ketimbang memperjuangkan aspirasi rakyat. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI, Juli 2025) bahkan menunjukkan DPR menjadi lembaga negara dengan tingkat kepercayaan terendah. Angka itu konsisten menurun sejak 2023, menandakan krisis representasi makin nyata.

Kondisi ini juga berdampak pada stabilitas politik. Investor mulai berhati-hati karena menilai gejolak politik berpotensi menggangu kepastian hukum. Perekonomian nasional, yang sejak 2024 tumbuh moderat, menghadapi risiko perlambatan akibat ketidakpastian politik yang disorot media internasional (The Jakarta Post, 2025).

Gerakan mahasiswa menjadi aktor kunci dalam sejarah politik Indonesia. Pada 1966, mahasiswa menekan Soekarno hingga lengser. Pada 1998, mahasiswa memimpin gerakan reformasi yang menumbangkan Soeharto. Pola ini kembali terlihat pada 2019 dan kini di 2025.

Ruang jalanan menjadi simbol perlawanan ketika institusi formal gagal. Demonstrasi adalah cara mahasiswa dan masyarakat sipil mengingatkan bahwa demokrasi sejati bukan sekadar pemilu lima tahunan, melainkan keterlibatan rakyat dalam setiap proses pengambilan keputusan. Jika DPR dan partai politik terus menutup telinga, maka jalanan akan selalu menjadi ruang perlawanan yang sah dalam tradisi demokrasi Indonesia.

Jalan Keluar: Dari Partai hingga Partisipasi Publik

Masalah presidensialisme multipartai bukan berarti tak ada solusi. Beberapa langkah penting perlu dipertimbangkan. Pertama, penyederhanaan partai politik melalui peningkatan ambang batas parlemen agar fragmentasi tidak berlebihan. Kedua, partai harus berani membangun koalisi berbasis ideologi, bukan sekadar pragmatisme kekuasaan. Tanpa diferensiasi ideologis, demokrasi hanya akan melahirkan politik dagang sapi.

Ketiga, proses legislasi harus benar-benar transparan dan melibatkan publik sejak awal. RUU yang dibahas di ruang tertutup hanya akan memicu kecurigaan. DPR harus menghidupkan kembali forum dengar pendapat, konsultasi publik, dan akses dokumen legislasi secara terbuka. Dengan begitu, masyarakat merasa diikutsertakan, bukan sekadar menjadi penonton.

Keempat, presiden perlu membentuk kabinet berbasis kompetensi, bukan sekadar akomodasi partai. Jika kementerian terus dibagi sebagai hadiah politik, profesionalisme pemerintahan tidak akan pernah tercapai. Kabinet yang meritokratis akan memperkuat legitimasi, bahkan di tengah koalisi yang rapuh.

Menyusuri Jalan Terjal Demokrasi

Demokrasi Indonesia memang tidak sedang baik-baik saja. Presidensialisme multipartai memberi kita ruang keterwakilan, tetapi juga melahirkan rapuhnya koalisi, lemahnya oposisi, dan menurunnya kepercayaan publik. Demonstrasi 2025 hanyalah gejala dari penyakit yang lebih dalam: demokrasi yang belum sepenuhnya berpihak pada rakyat.

Namun, jalan terjal bukan berarti jalan buntu. Jika para elite berani mendengar suara publik, menjalankan legislasi dengan transparan, serta menegakkan politik berbasis ide dan integritas, demokrasi masih bisa dipulihkan. Sejarah membuktikan bahwa rakyat Indonesia tidak pernah tinggal diam ketika demokrasi dibajak oleh kepentingan elite. Mereka turun ke jalan pada 1998, bersuara keras pada 2019, dan kembali beraksi di 2025.

Semua ini adalah pengingat bahwa demokrasi sejati tidak lahir dari gedung parlemen, melainkan dari suara rakyat. Pertanyaannya kini sederhana namun mendesak: apakah para wakil rakyat dan penguasa benar-benar mau mendengar, atau kita akan terus berjalan di jalan terjal yang penuh gejolak?

Catatan Referensi

  • “1000 Mahasiswa Diperkirakan Demo Tolak RUU TNI.” 20 Maret 2025.
  • “Refleksi Demo 25 Agustus dan Antisipasi Aksi Lanjutan.” 26 Agustus 2025.
  • The Jakarta Post. “Protests Mount Against DPR Over Rushed Military Bill.” 21 Maret 2025.
  • Scott Mainwaring. Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination. Comparative Political Studies, 1993.
  • Jurnal Law & Justice. “Implikasi Presidensialisme Multipartai dalam Demokrasi Indonesia.” Vol. 24, No. 2 (2024).
  • Jurnal Politik Indonesia (JPI) Bangka Belitung. “Multipartai dan Ambang Batas Parlemen: Evaluasi terhadap Stabilitas Sistem Presidensialisme di Indonesia.” Vol. 5, No. 1 (2024).
  • Lembaga Survei Indonesia (LSI). Tingkat Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Negara 2025. Rilis Survei, Juli 2025.

***

*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Pamulang Serang, prodi Ilmu Pemerintahan.

**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi radarbaru.com