Radar Baru, Opini – Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan adalah tonggak penting dalam upaya mewujudkan Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia. Miliaran rupiah iuran terkumpul setiap bulan, menjamin akses kesehatan bagi jutaan warga. Namun, di balik angka kepesertaan yang tinggi, BPJS Kesehatan kini berada di ambang tantangan serius: Defisit Kualitas Layanan.

Isu utama yang kerap mencuat di ruang publik adalah defisit finansial BPJS. Respons pemerintah dan BPJS Kesehatan seringkali berfokus pada penyesuaian atau kenaikan iuran. Sementara isu penting lainnya, yaitu defisit kualitas dan transparansi, seolah terabaikan. Kenaikan iuran tanpa perbaikan substansial hanya akan memperburuk ketidakpercayaan publik.

 Tiga Pilar Kritis yang Menuntut Perbaikan

Terdapat tiga aspek mendasar yang menjadi keluhan publik dan perlu segera dibenahi BPJS Kesehatan:

1.Mutu Layanan di Fasilitas Kesehatan (Faskes)

Meskipun prinsip JKN adalah kesetaraan, pengalaman di lapangan seringkali berkata lain. Keluhan yang dominan meliputi, antrean panjang yang melelahkan menjadi salah satu keluhan utama peserta layanan kesehatan. Waktu tunggu yang sangat lama, mulai dari proses pendaftaran hingga akhirnya dapat bertemu dokter, menggambarkan belum optimalnya sistem rujukan serta manajemen alur pasien. Kondisi ini tidak hanya menguras tenaga dan waktu, tetapi juga berpotensi menurunkan kualitas pengalaman pasien dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.

Selain itu, pasien sering merasa bahwa layanan medis yang diterima bersifat terbatas atau “seadanya”. Pembatasan ini kerap dikaitkan dengan kebijakan INA-CBG’s, yaitu sistem pembayaran dari BPJS kepada fasilitas kesehatan yang dinilai menekan biaya pelayanan. Akibatnya, beberapa rumah sakit menjadi lebih selektif dalam memberikan obat maupun tindakan medis, sehingga pasien tidak selalu memperoleh pelayanan yang optimal.

Di sisi lain, isu diskriminasi juga masih muncul dalam penyelenggaraan layanan kesehatan. Beberapa laporan menunjukkan adanya perlakuan berbeda antara pasien umum dan pasien JKN, terutama di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Diskriminasi semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang menjadi dasar penyelenggaraan JKN, yang seharusnya menjamin akses pelayanan kesehatan tanpa perbedaan perlakuan bagi seluruh warga.

  1. Transparansi Pengelolaan Dana dan Kebijakan

BPJS Kesehatan mengelola dana publik yang sangat besar. Transparansi adalah kunci untuk membangun kepercayaan.

  • Kejelasan Alokasi Dana:

Publik berhak mengetahui secara rinci alokasi iuran yang mereka bayarkan. Apakah defisit benar-benar disebabkan oleh klaim yang membengkak, atau ada inefisiensi dalam pengelolaan administratif?

  • Proses Penetapan Kebijakan:

Kebijakan yang berdampak langsung pada layanan, seperti perubahan tarif atau aturan rujukan, seringkali terasa tertutup dan kurang melibatkan partisipasi publik dan profesional kesehatan yang sesungguhnya.

  1. Efektivitas Sistem Rujukan dan Pengendalian Mutu

Sistem rujukan berjenjang seharusnya menjamin efisiensi. Namun, seringkali sistem ini terasa kaku dan menjadi hambatan, bukan kemudahan.

Akses menuju fasilitas kesehatan tingkat lanjutan masih menjadi tantangan bagi banyak peserta JKN, terutama bagi mereka yang membutuhkan penanganan spesialis dengan segera. Proses rujukan yang berbelit, ditambah dengan adanya pembatasan kuota rujukan, sering kali menghambat pasien dengan penyakit kronis atau kondisi serius untuk memperoleh layanan yang semestinya. Akibatnya, penanganan medis menjadi tertunda dan berpotensi memperburuk kondisi kesehatan pasien.

Di sisi lain, pengawasan mutu layanan di fasilitas kesehatan juga memerlukan perhatian lebih. BPJS Kesehatan perlu menerapkan mekanisme audit yang lebih tegas, menyeluruh, dan berorientasi pada kualitas nyata yang diterima pasien. Sistem sanksi maupun insentif seharusnya tidak hanya didasarkan pada kelengkapan administrasi, tetapi pada pengalaman pelayanan, keselamatan pasien, serta efektivitas tindakan medis yang diberikan oleh Faskes mitra. Upaya ini penting untuk memastikan bahwa seluruh fasilitas kesehatan mampu memberikan pelayanan yang layak, aman, dan bermutu sesuai standar yang telah ditetapkan.

Jalan ke Depan: Fokus pada Kualitas, Bukan Sekadar Kuantiitas

Jika BPJS Kesehatan hanya fokus pada mengejar iuran tanpa memperbaiki kualitas, maka kepesertaan yang masif tidak lebih dari ilusi jaminan kesehatan. Opini publik mendesak agar prioritas BPJS Kesehatan bergeser:

  1. Audit Komprehensif Mutu Layanan

Lakukan survei dan audit mendalam yang mengukur patient experience secara terperinci, bukan sekadar survei kepuasan umum. Gunakan hasil ini sebagai dasar pemutusan kontrak dengan Faskes yang terbukti memberikan layanan di bawah standar.

  1. Reformasi Sistem Pembayaran INA-CBG’s

Tinjau ulang sistem tarif agar Faskes mampu memberikan layanan yang optimal dan tidak terpaksa melakukan praktik penghematan yang merugikan pasien.

  1. Buka Penuh Data Keuangan

BPJS Kesehatan harus membuka laporan keuangan secara transparan dan mudah diakses, termasuk data klaim, biaya operasional, dan alokasi dana, untuk diaudit oleh lembaga independen.

  1. Tingkatkan Digitalisasi Pelayanan Pasien

Manfaatkan teknologi untuk memotong antrean (e-antrean yang terintegrasi dan akurat) serta mempermudah proses administrasi rujukan dan klaim, mengurangi beban birokrasi bagi pasien dan Faskes.

JKN adalah hak setiap warga negara, dan iuran yang dibayarkan adalah investasi publik. Masyarakat tidak hanya menuntut BPJS yang sehat finansial, tetapi yang utama adalah BPJS yang sehat layanan dan sehat transparansi. Tanpa perbaikan kualitas dan akuntabilitas, JKN akan terus berada di ambang defisit kepercayaan, yang jauh lebih berbahaya daripada defisit finansial.

 

*) Penulis adalah dr. Respinah Sarumpaet, Mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Maju / UIMA.