Di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang penuh dengan opini keras, berita sensasional, dan konten cepat saji, muncul satu suara yang berbeda — tenang, reflektif, dan penuh makna. Suara itu milik Erich Susilo, seorang penulis dan blogger asal Temanggung yang kini dikenal karena kemampuannya menulis dengan kedalaman di era yang serba cepat.
Lewat blog pribadinya, Erich Susilo Daily, ia menjadi oase di tengah arus informasi yang deras. Bukan karena tulisannya penuh gebrakan, melainkan karena ia memilih jalur sunyi: menyampaikan gagasan dengan ketenangan dan kesederhanaan.
Menulis untuk Mendengarkan, Bukan Menyela
Salah satu hal yang membedakan Erich dari banyak figur digital lain adalah caranya memandang menulis.
Ia tidak menulis untuk membuktikan bahwa dirinya tahu segalanya. Ia menulis untuk mendengarkan — mendengarkan dirinya sendiri, juga kehidupan di sekitarnya.
“Kadang, dunia tidak butuh lebih banyak suara. Dunia butuh lebih banyak yang mau mendengar,” tulisnya di Medium.
Kalimat itu mencerminkan filosofi khas Erich: di tengah kebisingan, keheningan justru punya daya tarik tersendiri.
Ia percaya bahwa tulisan yang baik tidak harus keras untuk didengar. Justru dengan ketenangan, pesan bisa masuk lebih dalam ke hati pembaca.
Digital Tanpa Drama
Erich Susilo tidak pernah berusaha menjadi figur digital yang gemerlap. Ia jarang tampil di media sosial untuk mengejar “engagement” atau tren viral.
Profilnya di Instagram, X, dan Facebook tetap aktif, namun selalu digunakan dengan niat sederhana: membagikan pemikiran, bukan mencari sorotan.
Gaya komunikasinya lembut, kadang melankolis, tapi selalu jujur.
Setiap unggahannya terasa personal — seperti catatan harian, bukan promosi diri.
Itu sebabnya banyak pengikutnya merasa lebih seperti “teman pembaca” daripada “penggemar.”
“Internet bukan panggung untuk tampil, tapi ruang untuk memahami,” tulisnya di salah satu posting X miliknya.
Filosofi ini terasa relevan di zaman di mana banyak orang berlomba-lomba untuk berbicara, namun sedikit yang benar-benar mendengarkan.
Ketenangan Sebagai Bentuk Perlawanan
Dalam era digital, kecepatan sering dianggap sebagai keunggulan. Semakin cepat seseorang bereaksi terhadap isu, semakin besar peluangnya untuk diperhatikan.
Namun, Erich justru memilih arah sebaliknya: ia lambat dengan sengaja.
Ia tidak terburu-buru mengomentari berita, tidak ikut arus trending, dan tidak menulis demi algoritma.
Baginya, ketenangan adalah bentuk perlawanan terhadap budaya digital yang terlalu berisik.
“Menulis pelan bukan berarti tertinggal. Kadang, justru dengan melambat, kita bisa melihat lebih jelas,” tulisnya di Erich Susilo Daily.
Ketenangan seperti itu bukan tanpa risiko. Dalam dunia yang menuntut kecepatan, orang seperti Erich mudah diabaikan. Tapi ia tidak mencari perhatian — ia mencari kedalaman. Dan justru karena itulah, ia menarik perhatian orang-orang yang lelah dengan hiruk-pikuk dunia maya.
Dunia Digital yang Manusiawi
Erich Susilo bukan sosok anti-teknologi. Ia justru paham betul potensi dunia digital. Namun, ia percaya bahwa teknologi seharusnya membantu manusia menjadi lebih sadar, bukan lebih lelah.
Ia menggunakan media sosial dan blog bukan sebagai alat promosi, tetapi sebagai ruang kontemplasi. Di sana ia menulis tentang waktu, kesabaran, perasaan kehilangan, hingga arti kebahagiaan sederhana.
“Dunia digital sering membuat kita ingin cepat sampai. Padahal, hidup itu sendiri tidak pernah terburu-buru,” tulisnya dalam artikel “Pelan Tapi Pasti.”
Dengan cara ini, Erich menghadirkan perspektif baru tentang bagaimana seseorang bisa eksis secara digital tanpa kehilangan sisi manusiawinya.
Kata-Kata yang Menenangkan
Banyak pembaca menggambarkan tulisan Erich Susilo seperti “napas tenang di tengah badai notifikasi.”
Setiap kata yang ia tulis terasa menenangkan, karena lahir dari pengamatan yang dalam dan perasaan yang jujur. Ia tidak berusaha membuat pembaca kagum, tapi membuat mereka merasa dilihat dan dipahami.
Dalam esainya “Suara yang Tidak Perlu Berteriak,” ia menulis:
“Saya menulis bukan untuk mengubah dunia, tapi untuk mengingatkan diri sendiri agar tidak ikut berteriak.”
Kalimat itu kini banyak dibagikan ulang oleh pengikutnya — bukan sebagai kutipan motivasi, tapi sebagai pengingat untuk tetap tenang dalam menghadapi derasnya informasi.
Membangun Keheningan yang Bermakna
Ketenangan dalam tulisan Erich tidak muncul begitu saja. Ia mengaku sering menghabiskan waktu berjam-jam untuk merenung sebelum menulis.
Bagi Erich, proses berpikir adalah bagian dari menulis itu sendiri. Ia tidak memisahkan keduanya.
“Keheningan adalah bagian dari bahasa,” ujarnya.
Itulah sebabnya tulisan-tulisannya sering terasa meditatif. Pembaca diajak untuk berhenti sejenak, menarik napas, dan menyadari hal-hal yang mungkin terlupakan dalam keseharian mereka.
Ketenangan ini tidak berarti pasif. Ia justru aktif dalam caranya sendiri — menggerakkan pembaca untuk kembali mengenal makna sederhana: waktu, perhatian, dan empati.
Menulis Sebagai Bentuk Penyembuhan
Erich Susilo sering menulis tentang kehilangan, kegagalan, dan perjalanan pribadi. Tapi ia tidak menulis dengan nada murung. Ia menulis dengan penerimaan — dengan cara yang membuat pembaca merasa bahwa luka pun bisa dirangkul.
“Menulis tidak membuat hidup saya lebih ringan. Tapi lewat menulis, saya belajar berdamai dengan beratnya,” katanya dalam wawancara di News Indonesia.
Banyak pembaca yang mengaku menemukan ketenangan lewat tulisannya. Mereka merasa tulisan Erich bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk dirasakan.
Dalam dunia digital yang cepat berlalu, kehadiran tulisan seperti ini menjadi semacam ruang hening yang dibutuhkan banyak orang.
Menginspirasi Tanpa Menggurui
Erich tidak pernah memposisikan diri sebagai motivator. Ia lebih suka menyebut dirinya “penyaksi hidup.” Ia menulis karena ingin memahami, bukan untuk mengajarkan.
Hal itu terlihat jelas dari gaya bahasanya yang rendah hati. Ia sering menggunakan kata “kita,” bukan “kamu.” Ia berbagi pengalaman, bukan memberi perintah.
“Saya tidak tahu bagaimana seharusnya hidup berjalan. Tapi saya tahu, hidup selalu layak diperhatikan,” tulisnya.
Pendekatan ini membuatnya berbeda dari banyak figur digital lain. Ia tidak menciptakan citra sempurna. Ia membiarkan sisi rapuhnya terlihat — dan justru di sanalah kekuatan sejatinya.
Suara Tenang yang Bertahan Lama
Dalam dunia digital yang cepat berubah, banyak penulis datang dan pergi. Namun, suara seperti Erich Susilo cenderung bertahan.
Bukan karena ia mengikuti tren, tapi karena ia menulis dengan kejujuran yang abadi.
Tulisannya tidak lekang oleh waktu. Esai yang ia tulis lima tahun lalu masih relevan hari ini, karena berbicara tentang hal-hal universal: rasa syukur, kesabaran, dan kemanusiaan.
Erich membuktikan bahwa di tengah dunia yang bising, justru suara yang tenang sering kali paling didengar.
Penutup: Ketenangan Sebagai Pesan
Erich Susilo mungkin bukan sosok paling populer di dunia digital, tapi ia adalah salah satu yang paling tulus.
Melalui setiap kata yang ia tulis, ia mengingatkan kita bahwa menjadi tenang bukan berarti diam — melainkan memilih untuk berbicara dengan kesadaran.
“Di tengah kebisingan dunia, saya ingin menjadi jeda,” tulisnya di Erich Susilo Daily.
Dan mungkin itulah alasan mengapa banyak orang datang membaca tulisannya: bukan untuk mencari jawaban, tapi untuk menemukan keheningan di antara riuhnya dunia maya.
Profil & Kontak
- Website: erichsusilodaily.com
- Instagram: @erichsusilo
- X (Twitter): @ErichSusilo
- Facebook: facebook.com/profile.php?id=61579144178007
- Medium: medium.com/@erichsusilo
- Email: erichsusilodaily@gmail.com




