Radar Baru, Malang – Dalam dua dekade terakhir, otonomi daerah menjadi salah satu tonggak penting dalam perjalanan pembangunan Indonesia. Kebijakan desentralisasi ini tidak hanya mengubah relasi antara pusat dan daerah, tetapi juga membawa dampak besar terhadap pengelolaan kependudukan, ketenagakerjaan, serta kualitas pelayanan publik di berbagai wilayah. Memahami dinamika otonomi daerah menjadi kunci bagi mahasiswa ekonomi untuk menilai bagaimana kewenangan lokal digunakan dalam mendorong pertumbuhan, mengurangi ketimpangan, dan memperkuat kesejahteraan masyarakat.
Pada 4 November 2025, Mahasiswa Offering DD Mata Kuliah Perekonomian Indonesia Jurusan Ekonomi Pembangunan FEB Universitas Negeri Malang, di bawah bimbingan Ibu Emma Yunika Puspasari, S.Pd., M.Pd., melaksanakan kegiatan diskusi dan presentasi kelas. Pada kesempatan tersebut, Kelompok 6—yang terdiri dari Amar Jundullah Husein dan Muhammad Rizal Syihabuddin—menyampaikan materi dari buku Faisal Basri & Amir Mahmud terkait otonomi daerah dalam perspektif kependudukan dan ketenagakerjaan.
Diskusi mulai memanas ketika Muhammad Harish Abdurrahman mengajukan pertanyaan tajam, “Kalau otonomi daerah di desa terbukti terhambat atau gagal mengelola kewenangannya secara mandiri, kenapa tidak diberlakukan saja otonomi terbalik? Kenapa tidak dikembalikan saja ke pusat supaya pembangunan lebih cepat?” Pertanyaan tersebut menarik perhatian seluruh kelas, memicu suasana debat yang lebih hidup.
Menanggapi hal itu, perwakilan kelompok 6 menegaskan bahwa ide mengembalikan kewenangan ke pusat memang terlihat logis jika hanya melihat kegagalan teknis di tingkat daerah. Namun secara prinsip, otonomi daerah tidak dirancang untuk dicabut ketika menemui hambatan, melainkan untuk dibina dan diperkuat. Mereka menjelaskan bahwa hambatan yang muncul biasanya terkait kurangnya kapasitas SDM, minimnya kecakapan perencanaan, atau lemahnya pengawasan, bukan karena konsep otonomi itu sendiri. Karena itu, solusi yang tepat bukan mencabut otonomi, melainkan meningkatkan pendampingan, pelatihan, supervisi, serta memperbaiki distribusi dana yang lebih adil. Jika semuanya dikembalikan ke pusat, kelas diajak membayangkan bahwa masalah lama akan berulang: kebijakan menjadi lambat, tidak adaptif, dan pembangunan kembali menumpuk di wilayah tertentu. “Otonomi itu bukan dibiarkan berjalan sendirian,” tegas kelompok, “melainkan harus terus didampingi melalui koordinasi pusat–daerah yang kuat.”
Belum selesai respons tersebut dijelaskan, Astri Simanulang langsung menimpali dengan isu lanjutan yang tak kalah krusial. Ia mempertanyakan, “Kalau begitu, apakah otonomi daerah ini benar-benar bisa mengurangi ketimpangan? Atau justru menciptakan ketimpangan baru, melihat faktanya sekarang masih banyak daerah tertinggal?”
Kelompok 6 menanggapi dengan analisis lebih mendalam. Mereka menjelaskan bahwa secara teori, otonomi daerah memiliki potensi besar menekan ketimpangan yang lahir dari sistem sentralisasi Orde Baru karena daerah kini punya kewenangan untuk bergerak lebih cepat, menentukan prioritas, dan mengelola anggaran pembangunan. Transfer fiskal dari pusat juga seharusnya menjadi alat pemerataan. Namun, di sisi lain, otonomi daerah juga dapat memunculkan ketimpangan baru, terutama akibat perbedaan kapasitas dan sumber daya. Mereka mencontohkan ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa yang terlihat dari ketimpangan ekonomi, infrastruktur, pelayanan publik, dan kualitas sumber daya manusia. Daerah yang kuat SDM dan fiskalnya melaju cepat, sedangkan daerah yang lemah tertinggal — sehingga gap baru muncul meskipun kewenangan sudah diberikan.
Pada sesi penutup, Ibu Emma Yunika Puspasari, S.Pd., M.Pd., memberikan penguatan terhadap gagasan yang dipaparkan Kelompok 6. Beliau menegaskan bahwa otonomi daerah memang tidak dimaksudkan sebagai sistem yang “langsung berhasil”, melainkan sebuah proses jangka panjang yang memerlukan dukungan regulasi, penguatan institusi, dan komitmen bersama antara pusat dan daerah. Beliau juga menekankan bahwa ketimpangan tidak akan hilang hanya dengan memusatkan kewenangan, tetapi melalui pemerataan kapasitas dan tata kelola yang baik. Dengan demikian, diskusi ini tidak hanya membuka wawasan mahasiswa tentang struktur pemerintahan daerah, tetapi juga pentingnya pendekatan institusional dalam membangun perekonomian yang lebih inklusif.




