Penulis: Reynaldi Rizky*
Pada hari-hari awal setelah tsunami melanda dan sebelum bantuan negara lain datang, Aceh berada dalam situasi kehancuran total tanpa komunikasi, tanpa logistik, dan tanpa koordinasi efektif. Masyarakat hidup dalam penderitaan ekstrem, menghadapi kelaparan, kehilangan, dan ketidakpastian. Kondisi ini menjadi titik terendah dalam sejarah Aceh modern, sekaligus menjadi alasan utama mengapa bantuan internasional berskala besar sangat dibutuhkan untuk memulihkan kehidupan di provinsi tersebut.
Setelah bencana tersebut, Aceh seakan menjadi pusat perhatian dunia. Dari kondisi hancur dan terisolasi, berbagai bentuk bantuan mulai berdatangan, dan Australia muncul sebagai salah satu negara yang paling cepat memberikan respons nyata.
Bencana tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern. Gempa bumi berkekuatan 9,1 skala Richter yang berpusat di Samudra Hindia menimbulkan gelombang tsunami dahsyat yang menghantam pesisir barat Aceh dan sebagian besar wilayah pesisir Samudra Hindia. Bencan ini memiliki dampak yang besar. Lebih dari 167.000 orang meninggal dunia di Indonesia, jutaan lainnya kehilangan tempat tinggal, serta infrastruktur publik seperti jalan, rumah sakit, sekolah, dan pelabuhan mengalami kehancuran total. (AusAID, The achievements of the Australia Indonesia Partnership for Reconstruction and Development (AIPRD) in Aceh And Nias, 2006)
Salah satu negara yang memberikan respons cepat dan signifikan terhadap tragedi tersebut adalah Australia. Pemerintah Australia mengirimkanan bantuan darurat dan kemudian meluncurkan Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development (AIPRD) dengan total nilai bantuan mencapai lebih dari AUS$1 miliar (sekitar Rp7,2 triliun pada waktu itu). Program ini tidak hanya mencakup bantuan kemanusiaan jangka pendek seperti pengiriman makanan, obat-obatan, dan tim penyelamat, tetapi juga mencakup pembangunan jangka panjang, termasuk perbaikan infrastruktur, layanan publik, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat Aceh. (ABC, 2014)
Dalam konteks hubungan internasional, bantuan besar yang diberikan oleh Australia tidak hanya dapat dipahami dari sudut pandang kemanusiaan semata. Menurut teori realisme, negara bertindak dalam sistem internasional yang bersifat anarkis, di mana tidak ada otoritas tertinggi yang mengatur hubungan antarnegara. Karena itu, setiap negara akan selalu berusaha untuk memaksimalkan kepentingan nasionalnya, menjaga keamanan, serta memperkuat posisi dan pengaruhnya di lingkungan regional maupun global. Dengan demikian, meskipun bantuan Australia dibungkus dengan narasi kemanusiaan, secara realistis tindakan tersebut juga mencerminkan strategi diplomasi yang memperhitungkan kepentingan nasional Australia sendiri. (AusAID, 2008)
Pasca-krisis Timor Timur tahun 1999, hubungan Indonesia dan Australia sempat berada dalam ketegangan serius. Australia dianggap turut campur dalam urusan domestik Indonesia karena dukungannya terhadap intervensi pasukan internasional di Timor Timur setelah referendum kemerdekaan. Situasi tersebut menimbulkan ketidakpercayaan di antara kedua negara. Namun, tragedi tsunami 2004 membuka peluang bagi Australia untuk memperbaiki citranya di mata pemerintah dan masyarakat Indonesia. Melalui bantuan besar-besaran, Australia berusaha menunjukkan komitmen dan solidaritasnya sebagai tetangga dekat sekaligus mitra strategis. (Neil, 2005)
kebijakan Australia dapat dianggap sebagai upaya memperluas pengaruh geopolitiknya di kawasan Asia Tenggara. Dengan memperkuat hubungan bilateral dengan Indonesia, Australia berusaha menciptakan stabilitas kawasan yang dianggap penting bagi keamanan nasionalnya. Indonesia, sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dan mitra utama dalam forum seperti ASEAN Regional Forum (ARF), memiliki posisi strategis dalam menjaga keamanan kawasan, terutama terkait isu terorisme, migrasi ilegal, dan keamanan maritim di Selat Malaka. Dengan demikian, mempererat hubungan dengan Indonesia berarti memperkuat posisi Australia dalam tatanan keamanan regional. (Neil, 2005)
Selain itu, Australia juga menggunakan bantuan tersebut untuk memperbaiki soft power-nya di kawasan Asia-Pasifik. Melalui program AIPRD, Australia tidak hanya membantu rekonstruksi fisik, tetapi juga berperan dalam penguatan tata kelola pemerintahan, pendidikan, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia di Aceh. Pendekatan ini mencerminkan strategi jangka panjang Australia untuk menampilkan dirinya sebagai mitra yang dapat dipercaya dan berkomitmen terhadap pembangunan kawasan. Dalam kacamata realisme, hal ini merupakan cara halus untuk meningkatkan pengaruh politik melalui instrumen bantuan luar negeri. (Neil, 2005)
Bantuan Australia juga dapat dilihat sebagai bentuk diplomasi strategis, di mana motif kemanusiaan dan kepentingan nasional berjalan beriringan. Dengan membantu Indonesia pada masa krisis, Australia memperoleh keuntungan diplomatik berupa peningkatan citra positif, akses yang lebih baik dalam kerja sama ekonomi dan keamanan, serta kepercayaan yang lebih besar dari pemerintah Indonesia. Ini sejalan dengan asumsi realisme bahwa negara tidak pernah bertindak sepenuhnya altruistik; setiap tindakan, bahkan yang tampak moral atau kemanusiaan, tetap berakar pada kalkulasi kepentingan nasional. (Neil, 2005)
Dampak dari kerja sama ini cukup signifikan. Hubungan Indonesia–Australia pasca-tsunami membaik secara drastis. Kedua negara kemudian memperluas kerja sama di bidang keamanan melalui Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) dan berbagai dialog strategis bilateral. Dari perspektif ini, bantuan tsunami menjadi “turning point” yang mengubah hubungan kedua negara dari ketegangan menuju kemitraan yang lebih konstruktif. (News, 2005)
Kesimpulannya, bantuan Australia kepada Indonesia pada saat tsunami Aceh tahun 2004 merupakan salah satu contoh nyata bagaimana kebijakan luar negeri dapat beroperasi di antara dua dimensi: kemanusiaan dan kepentingan strategis nasional. Dalam kerangka teori realisme, tindakan ini mencerminkan upaya Australia untuk memperkuat keamanan nasionalnya, memperbaiki hubungan politik yang sempat terganggu, serta memperluas pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara. Dengan memanfaatkan momen krisis kemanusiaan, Australia berhasil menunjukkan kepeduliannya sekaligus mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan regional yang stabil, berpengaruh, dan strategis di kawasan Asia-Pasifik.
Referensi
- ABC, N. (2014). Boxing Day tsunami: How the disaster unfolded 10 years ago.
- AusAID. (2006). The achievements of the Australia Indonesia Partnership for Reconstruction and Development (AIPRD) in Aceh And Nias. 1-12.
- AusAID. (2008). Australia Indonesia Partnership. Australian Agency for International Development (AusAID), 1-26.
- Neil, S. (2005). Aid Package a Watershed for Canberra-Jakarta Relations. Retrieved from Arab News: https://www.arabnews.com/node/260657?utm_source=chatgpt.com
- News, A. (2005). Aust ‘showing the way’ with aid package. Retrieved from ABC news: https://www.abc.net.au/news/2005-01-06/aust-showing-the-way-with-aid-package/
***
*) Penulis adalah Mahasiswa UPN Veteran Jawa Timur, prodi Hubungan Internasional.
**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi radarbaru.com