radarbaru.com – Di usia produktif, ketika karier mulai menanjak dan penghasilan perlahan meningkat, rasa aman seharusnya ikut tumbuh. Namun bagi banyak anak muda, kenyataannya justru berlawanan. Gaji naik, pekerjaan stabil, tapi kecemasan soal keuangan tak kunjung hilang.
Fenomena ini kian sering dibicarakan, baik di ruang privat maupun media sosial. Keluhan tentang sulitnya menabung, takut sakit, hingga kekhawatiran tak punya masa depan finansial menjadi cerita yang terasa dekat dengan keseharian generasi muda saat ini.
Hidup Jalan Terus, Biaya Ikut Berlari
Salah satu sumber kecemasan terbesar datang dari biaya hidup yang terus meningkat. Harga kebutuhan pokok, sewa tempat tinggal, hingga biaya transportasi perlahan menggerus penghasilan bulanan. Kenaikan gaji yang dinanti-nanti sering kali hanya cukup untuk menutup kenaikan pengeluaran.
Bagi pekerja di kota besar, situasi ini terasa semakin nyata. Penghasilan yang terlihat “besar” di atas kertas, sering kali habis untuk kebutuhan dasar sebelum sempat disisihkan untuk masa depan.
Tekanan Sosial yang Tak Terlihat
Kecemasan finansial juga diperparah oleh tekanan sosial. Media sosial menampilkan standar hidup tertentu—rumah sendiri di usia muda, liburan rutin, investasi sejak dini. Tanpa disadari, banyak anak muda membandingkan kondisi keuangannya dengan pencapaian orang lain.
Perbandingan ini menciptakan ilusi bahwa semua orang baik-baik saja, sementara diri sendiri tertinggal. Padahal, tak sedikit yang hanya menampilkan sisi terbaik hidupnya.
Takut Salah Langkah
Berbeda dengan generasi sebelumnya, anak muda kini dihadapkan pada terlalu banyak pilihan finansial. Investasi, asuransi, dana darurat, hingga perencanaan pensiun dibicarakan sejak usia 20-an. Di satu sisi, ini tanda meningkatnya literasi. Di sisi lain, pilihan yang terlalu banyak justru memicu ketakutan salah mengambil keputusan.
Alih-alih merasa siap, banyak yang justru merasa cemas karena takut memilih jalan yang keliru.
Kerja Keras Tak Selalu Berbanding Lurus
Narasi lama tentang kerja keras yang pasti berbuah manis mulai dipertanyakan. Banyak anak muda menyaksikan orang-orang di sekitarnya bekerja tanpa henti, namun tetap kesulitan secara finansial. Pengalaman ini membentuk rasa tidak aman yang mendalam.
Kecemasan bukan lagi soal malas atau kurang usaha, melainkan ketidakpastian sistem yang terasa di luar kendali individu.
Menggeser Makna Aman Finansial
Menariknya, sebagian anak muda mulai mendefinisikan ulang arti aman finansial. Bukan lagi sekadar angka di rekening, melainkan kemampuan bertahan tanpa rasa panik. Memiliki dana darurat kecil, pengeluaran terkendali, dan hidup sesuai kemampuan mulai dianggap sebagai bentuk keberhasilan tersendiri.
Kesadaran ini muncul sebagai respons terhadap tekanan ekonomi yang semakin kompleks.
Bukan Manja, Tapi Waspada
Anggapan bahwa generasi muda terlalu cemas atau “kurang tahan banting” kerap muncul. Namun kenyataannya, kecemasan finansial lahir dari situasi yang berbeda. Ketidakpastian ekonomi, perubahan dunia kerja, dan biaya hidup yang cepat naik membentuk cara pandang yang lebih waspada.
Rasa cemas itu bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk adaptasi.
Mencari Jalan Tengah
Di tengah kondisi ini, banyak anak muda mulai mencari keseimbangan. Belajar mengatur keuangan, menurunkan ekspektasi sosial, dan menerima bahwa stabilitas adalah proses panjang. Bukan jalan lurus yang bisa ditempuh dalam waktu singkat.
Mungkin rasa aman finansial memang tak datang bersamaan dengan kenaikan gaji. Ia tumbuh perlahan, seiring kemampuan memahami diri, kondisi, dan batasan hidup.




