radarbaru.com – Ungkapan “capek hidup” kini tak lagi terdengar asing di media sosial. Kalimat sederhana itu muncul di kolom komentar, cuitan singkat, hingga video pendek yang viral. Bukan sekadar keluhan spontan, frasa ini perlahan menjadi bahasa bersama—penanda kelelahan emosional yang dirasakan banyak orang, terutama generasi muda.
Fenomena ini menarik perhatian karena muncul di tengah era yang disebut serba mudah. Teknologi semakin canggih, informasi tersedia dalam genggaman, peluang terbuka lebar. Namun di balik itu, rasa lelah justru terasa makin nyata.
Dari Candaan ke Cermin Emosi
Awalnya, “capek hidup” sering dibungkus humor. Digunakan sambil tertawa, disertai meme atau lagu latar yang ringan. Tapi semakin sering diulang, maknanya terasa lebih dalam. Banyak yang menggunakannya untuk mengekspresikan kejenuhan, tekanan, dan kebingungan menghadapi hidup yang berjalan cepat.
Bagi sebagian orang, kalimat ini menjadi cara paling aman untuk jujur tanpa harus menjelaskan panjang lebar. Cukup dua kata, namun mewakili perasaan yang rumit.
Tekanan yang Datang dari Banyak Arah
Kelelahan hidup hari ini jarang datang dari satu sumber. Ia merupakan akumulasi dari berbagai tekanan yang saling tumpang tindih.
Di dunia kerja, tuntutan produktivitas semakin tinggi. Batas antara jam kerja dan waktu pribadi kian kabur. Pesan masuk kapan saja, target datang silih berganti. Di sisi lain, media sosial terus memamerkan standar hidup yang sulit dikejar—karier mapan, liburan rutin, pencapaian di usia muda.
Tanpa disadari, banyak orang menjalani hidup dengan perasaan tertinggal, meski sebenarnya sedang berjuang sekuat tenaga.
Media Sosial: Tempat Berbagi Sekaligus Membandingkan
Media sosial berperan ganda. Ia menjadi ruang aman untuk berbagi rasa lelah, namun juga sumber perbandingan tanpa henti. Melihat kehidupan orang lain yang tampak lebih “berhasil” kerap memicu rasa kurang, bahkan pada mereka yang sudah bekerja keras.
Ironisnya, platform yang sama digunakan untuk mencari validasi sekaligus menjadi pemicu tekanan mental. Dari sinilah ungkapan “capek hidup” menemukan momentumnya—sebagai bentuk kejujuran yang akhirnya mendapat respons serupa dari banyak orang.
Bukan Tanda Lemah, Tapi Sinyal
Psikolog menilai rasa lelah emosional bukan tanda kelemahan. Sebaliknya, ia merupakan sinyal bahwa seseorang sedang berada di titik jenuh dan membutuhkan jeda.
Masalahnya, jeda sering dianggap kemewahan. Banyak orang merasa bersalah saat beristirahat, seolah berhenti sejenak berarti kalah. Padahal, tanpa jeda, kelelahan akan terus menumpuk dan berisiko memengaruhi kesehatan mental.
Mengubah Cara Memandang Hidup
Fenomena “capek hidup” juga menunjukkan adanya pergeseran cara generasi sekarang memaknai kehidupan. Kesuksesan tak lagi selalu identik dengan kerja tanpa henti. Keseimbangan, kesehatan mental, dan makna hidup mulai diperbincangkan secara terbuka.
Meski belum semua orang berani mengakuinya di dunia nyata, media sosial menjadi ruang awal untuk menyuarakan kegelisahan itu.
Saatnya Mendengar, Bukan Menghakimi
Ketika seseorang mengatakan “capek hidup”, mungkin yang ia butuhkan bukan nasihat panjang, melainkan didengar. Kalimat tersebut sering kali bukan permintaan solusi instan, tetapi ajakan untuk memahami bahwa hidup memang bisa terasa berat.
Di tengah ritme hidup yang semakin cepat, fenomena ini menjadi pengingat bahwa manusia bukan mesin. Lelah adalah bagian dari proses, bukan kegagalan.
Dan mungkin, dengan mengakui rasa lelah itu, banyak orang justru sedang berusaha bertahan.




