Penulis: Asya Pradana R*

Di era ketika hidup terasa semakin cepat, tuntutan semakin banyak, dan media sosial menjadi etalase “kebahagiaan palsu”, kesehatan mental pelan-pelan berubah menjadi isu publik yang tidak boleh lagi disembunyikan. Banyak anak muda tampil tersenyum di Instagram, tetapi menyimpan kecemasan atau tekanan berat yang tak pernah muncul di layar. Fenomena ini tidak sekadar persoalan individu, tetapi persoalan sosial yang menuntut respons komunikasi yang lebih strategis, terencana, dan menyentuh publik luas. Dari sinilah gagasan kampanye terpadu tentang kesehatan mental mulai menemukan relevansi sebuah kampanye yang bukan hanya informatif, tetapi juga mampu menciptakan ruang aman, menghilangkan stigma, dan membangun keberanian untuk mencari bantuan.

Kesehatan mental selama ini sering dianggap isu “pribadi” atau “masalah yang harus diselesaikan sendiri”. Namun kenyataannya, banyak orang, terutama remaja dan dewasa muda, hidup dalam tekanan akademik, ekonomi, tuntutan sosial, hingga perbandingan tanpa henti di dunia digital. Data menunjukkan bahwa kecemasan, stres kronis, dan burnout meningkat signifikan pada kelompok usia produktif. Lebih buruk lagi, stigma masyarakat membuat banyak orang enggan bercerita atau mencari pertolongan. Insight inilah yang menjadi titik tolak dari kampanye terpadu bertema kesehatan mental: publik membutuhkan narasi yang humanis, komunikatif, dan mampu mengajak mereka berani bicara.

Kampanye Terpadu: #BeraniBicaraBeraniPulih

Kampanye yang dirancang mengusung nama #BeraniBicaraBeraniPulih, sebuah gerakan edukatif dan empatik yang menempatkan keberanian bercerita sebagai langkah pertama menuju pemulihan. Kampanye ini menggabungkan berbagai kanal komunikasi media sosial, media massa, aktivasi kampus, hingga kolaborasi dengan psikolog muda untuk menciptakan pesan yang konsisten namun fleksibel mengikuti karakter audiens. Inti kampanye ini adalah membangun ruang aman tempat generasi muda dapat memahami emosinya, mengenali gejala stres, dan merasa tidak sendiri dalam perjuangan menjaga kesehatan mental.

Kekuatan kampanye terpadu terletak pada harmonisasi antar kanal. Karena itu, kampanye ini memadukan storytelling, visual edukatif, konten singkat, talkshow pendek, hingga testimoni komunitas untuk menggerakkan empati publik. Setiap pesan dikemas agar mudah dibagikan, relatable, dan tidak menggurui. Dengan pendekatan emosional dan rasional yang seimbang, kampanye ini berupaya mendorong perubahan perilaku yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Segmentasi Target Audiens

Target utama kampanye ini adalah remaja dan dewasa muda usia 16–30 tahun, kelompok yang paling rentan terhadap tekanan sosial dan paling aktif menggunakan media digital. Mereka terbiasa mengekspresikan diri melalui konten pendek seperti Reels dan TikTok, sehingga kampanye perlu menyajikan pesan informatif dalam format ringan dan visual. Mereka bukan hanya ingin diberi tahu; mereka ingin diajak berbicara, didengarkan, dan dihargai.

Audiens pendukung meliputi orang tua, tenaga pendidik, komunitas kampus, dan lingkungan kerja awal. Kelompok ini memiliki peran penting dalam menciptakan ekosistem yang suportif. Dengan memahami isu kesehatan mental secara mendasar, kelompok pendukung mampu menjadi jembatan komunikasi dan penyedia ruang aman bagi generasi muda.

Big Idea: “Setiap Cerita Berharga, Setiap Perasaan Valid”

Big idea kampanye ini menempatkan pengalaman emosional individu sebagai sesuatu yang valid dan layak dihargai. Banyak orang menahan cerita karena takut dinilai “lebay”, “kurang bersyukur”, atau “tidak cukup kuat”. Padahal, setiap cerita adalah bagian dari perjalanan pemulihan yang penting. Dengan big idea tersebut, narasi kampanye dibangun untuk menegaskan bahwa meminta bantuan bukan tanda kelemahan, tetapi tanda keberanian.

Narasi kampanye kemudian dijahit ke dalam berbagai konten kreatif: kisah perjalanan pulih seseorang, ilustrasi tentang kecemasan, video satu menit berisi pengakuan jujur, hingga tanya jawab ringan dengan psikolog. Semua konten membawa pesan bahwa perasaan apa pun boleh dirasakan, dan setiap orang berhak mendapat dukungan emosional.

Slogan dan Pesan Kunci

Slogan utama kampanye adalah: “Berani Bicara, Berani Pulih.”

Slogan ini menggambarkan esensi kampanye: bahwa langkah sekecil menceritakan perasaan dapat membuka jalan panjang menuju kesehatan mental yang lebih baik. Selain itu, slogan tambahan seperti “Tidak Apa-Apa Untuk Tidak Baik-Baik Saja” serta “Cerita Kamu Penting” digunakan sebagai penguat pesan agar publik merasa diterima, bukan dihakimi.

Pesan utama kampanye menekankan tiga poin:

  1. Validasi emosi : tidak ada perasaan yang salah.
  2. Akses bantuan itu wajar : berkonsultasi dengan profesional adalah langkah sehat.
  3. Komunitas berperan besar : pemulihan bukan proses sendirian.

Strategi Media dan Aktivasi

Media sosial menjadi kanal utama kampanye karena dekat dengan audiens muda. TikTok dipilih untuk video pendek dan storytelling, Instagram untuk infografik, carousel edukatif, dan poster digital, sementara YouTube digunakan untuk talkshow ringan dengan psikolog muda atau penyintas. Setiap konten mempertahankan gaya visual yang sama: hangat, lembut, dan bersahabat secara emosional.

Aktivasi kampanye dilakukan melalui:

  • Challenge “1 Menit Cerita”: mengajak publik membagikan suara hati secara jujur.
  • Live talk dengan psikolog mengenai kecemasan, burnout, dan relasi sehat.
  • Kolaborasi komunitas kampus untuk membuat ruang diskusi offline.
  • Poster publik di kampus untuk menormalisasi percakapan tentang kesehatan mental.

Pendekatan terpadu ini membuat kampanye tidak hanya hidup di dunia digital, tetapi hadir secara nyata dalam ruang keseharian audiens.

Harapan & Dampak Kampanye

Kampanye ini diharapkan menjadi pintu pembuka bagi perubahan sosial yang lebih besar. Dampak jangka pendek yang diinginkan adalah meningkatnya keberanian anak muda untuk bercerita, bertanya, dan mencari bantuan profesional. Dalam jangka panjang, kampanye ini ingin mengikis stigma bahwa kesehatan mental adalah kelemahan, serta mendorong institusi pendidikan maupun komunitas untuk menyediakan layanan konseling yang lebih mudah dijangkau.

Jika ruang aman ini semakin luas, maka pulih bukan lagi perjalanan yang sunyi. Ia akan menjadi perjalanan yang ditemani banyak tangan, banyak telinga, dan banyak hati yang peduli.

***

*) Penulis adalah Mahasiswi Prodi Sosial dan Ilmu Politik, Magister Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi radarbaru.com