Krisis Ketahanan Pangan: Ketika Petani Kecil Terhimpit di Negeri Agraris |
Penulis : Shofiyur Rahmah Ginannafisa
Radar Baru, Yogyakarta, Ironi yang memprihatinkan tengah terjadi di Indonesia. Negara yang dijuluki sebagai negeri agraris ini justru menghadapi ancaman serius terhadap ketahanan pangannya. Di balik narasi optimistis tentang Indonesia Emas 2045, tersembunyi realitas pahit yang dihadapi para petani kita, tulang punggung ketahanan pangan nasional.
Fenomena yang paling mengkhawatirkan adalah pergeseran kepemilikan lahan pertanian. Data sensus pertanian menunjukkan bahwa 48% lahan pertanian kini dikelola oleh petani penyakap atau sistem sewa. Kondisi ini mencerminkan kegagalan sistem agraria kita dalam melindungi kepentingan petani kecil. Berbeda dengan negara-negara yang telah sukses melakukan reformasi agraria, Indonesia seperti membiarkan praktik feodal modern ini berlanjut, di mana petani kecil semakin terpinggirkan dari kepemilikan lahan mereka sendiri.
Sistem distribusi hasil pertanian yang tidak berkeadilan semakin memperburuk situasi. Para petani terjebak dalam rantai pasokan yang timpang, di mana penggilingan menikmati porsi keuntungan terbesar. Mereka dipaksa berhadapan dengan pasar oligopoli - membeli input produksi dengan harga tinggi namun menjual hasil panen dengan harga rendah. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan kemiskinan yang sulit diputus.
Yang lebih memprihatinkan, di tengah tantangan perubahan iklim yang semakin nyata, para petani kecil ini harus berjuang sendirian. Meskipun telah terbentuk berbagai kelompok tani, pengelolaan tetap bersifat individual dan mikro, membuat mereka rentan terhadap guncangan iklim dan pasar. Ironisnya, di negeri yang membanggakan semangat gotong royong dan kekeluargaan, koperasi pertanian justru tidak berkembang seperti yang terjadi di Denmark atau Korea Selatan.
Jika Indonesia serius dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional, diperlukan transformasi mendasar dalam tata kelola pertanian. Penetrasi teknologi harus diimbangi dengan reformasi kebijakan yang melindungi kepentingan petani kecil. Tanpa adanya perubahan struktural dalam hal kepemilikan lahan dan perbaikan sistem distribusi hasil pertanian, narasi tentang ketahanan pangan nasional hanya akan menjadi jargon kosong, sementara para petani kita terus terhimpit dalam kemiskinan.
Di tengah optimisme pertumbuhan ekonomi 5% dan ambisi Indonesia untuk bergabung dengan OECD, sudah saatnya kita memberikan perhatian serius pada nasib para petani kecil. Sebab, ketahanan pangan bukanlah sekadar masalah produksi, melainkan juga soal keadilan sosial bagi mereka yang telah mengabdikan hidupnya untuk menyediakan pangan bagi bangsa ini.
Social Footer