Ketika Harga Pangan Melambung, Orang Miskin Makin Sulit Bertahan |
Penulis : Samuel Adi Gunawan Manullang (6662220191)
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Radar Baru, Yogyakarta, Masalah ketahanan pangan di Indonesia semakin menjadi perhatian, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Harga bahan makanan yang terus naik, terutama saat inflasi, membuat mereka semakin sulit membeli kebutuhan pokok, apalagi bahan makanan berkualitas. Pendapatan yang tidak sebanding dengan kenaikan harga pangan memaksa banyak orang untuk memilih makanan murah yang sering kali kurang bergizi. Kondisi ini bukan hanya memengaruhi kesehatan mereka, tetapi juga memperburuk kemiskinan dalam jangka panjang.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa inflasi pangan di Indonesia mencapai 3,3% pada tahun 2023. Kenaikan ini terutama dipengaruhi oleh bahan pokok seperti beras, yang harganya melonjak hingga 16% dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mencatat bahwa sekitar 27% rumah tangga di Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi yang disarankan, termasuk konsumsi protein dari daging, ikan, dan telur.
Bayangkan seorang buruh harian dengan penghasilan rata-rata Rp50.000 per hari. Ketika harga beras, minyak goreng, atau sayuran naik, mereka tidak punya pilihan selain mengurangi kualitas makanan mereka. Yang penting perut kenyang, meskipun gizinya tidak terpenuhi. Padahal, kurang gizi bisa menyebabkan masalah kesehatan serius, seperti anemia, stunting pada anak-anak, dan menurunnya produktivitas kerja. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa angka stunting di Indonesia pada tahun 2023 masih berada di angka 21,6%, jauh dari target pemerintah untuk menurunkannya menjadi 14% pada tahun 2024.
Pemerintah memang telah mengeluarkan beberapa kebijakan seperti bantuan sosial dan subsidi pangan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan ini sering kali tidak tepat sasaran atau tidak cukup untuk mengatasi akar masalah. Subsidi hanya menjadi solusi sementara yang tidak menyentuh inti persoalan. Masalah utama ada pada distribusi pangan yang tidak efisien, ketergantungan pada impor, dan lemahnya dukungan terhadap petani kecil.
Misalnya, petani kecil sering menghadapi berbagai tantangan seperti sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi, harga jual hasil panen yang rendah, dan ketergantungan pada tengkulak. Di sisi lain, rantai distribusi yang terlalu panjang membuat harga bahan pangan melonjak drastis dari petani ke konsumen. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, lebih dari 70% hasil panen petani kecil di Indonesia masih dijual melalui tengkulak, yang mengambil keuntungan besar sebelum sampai ke pasar.
Solusi untuk masalah ini tidak bisa hanya fokus pada memberikan bantuan jangka pendek. Pemerintah perlu memperkuat sektor pertanian dengan memberi dukungan lebih besar kepada petani kecil. Misalnya, memberikan akses mudah ke teknologi pertanian, pupuk, dan pasar yang adil. Selain itu, memperpendek rantai distribusi dengan memotong peran tengkulak juga sangat penting agar harga pangan lebih terjangkau.
Masyarakat juga perlu didorong untuk lebih mandiri melalui program-program seperti urban farming atau kebun komunitas. Menanam sayuran atau buah-buahan di pekarangan rumah bisa menjadi cara sederhana untuk membantu mengurangi beban pengeluaran dan sekaligus memenuhi kebutuhan gizi keluarga.
Masalah ketahanan pangan bukan hanya soal ketersediaan bahan makanan, tetapi juga soal keterjangkauan dan keadilan. Setiap orang berhak atas makanan yang sehat dan bergizi. Jika pemerintah serius ingin mengatasi kesenjangan ekonomi, maka memastikan pangan yang terjangkau untuk semua orang harus menjadi prioritas utama. Jangan sampai masyarakat kecil terus menderita, hanya karena sistem yang ada lebih berpihak pada keuntungan segelintir pihak dibanding kebutuhan banyak orang. Saatnya langkah konkret diambil, agar setiap orang, dari yang kaya hingga yang miskin, bisa menikmati hak dasar mereka yaitu makanan yang layak.
Social Footer