Penulis: Rifki Ariyanto (Mahasiswa Universitas Lampung)Foto: Gus Miftah dan Pedagang Es Teh (Doc. Ist.)
Belum lama ini, Gus Miftah, seorang ulama terkenal asal Indonesia, menjadi sorotan publik setelah ia mengolok-olok seorang pedagang es teh dalam sebuah acara. Tindakan tersebut memicu reaksi beragam dari masyarakat, dengan sebagian merasa tersinggung, sementara yang lain menganggapnya hanya sebuah lelucon yang tidak perlu dipermasalahkan. Namun, meskipun mungkin dimaksudkan sebagai humor, kejadian ini menggugah banyak pertanyaan mengenai etika publik, penghargaan terhadap profesi, dan peran tokoh agama dalam membentuk opini sosial.
Sebagai seorang figur publik yang memiliki banyak pengikut, ucapan dan tindakannya tentu memiliki dampak yang besar. Gus Miftah, yang dikenal dengan gaya ceramah yang santai dan humoris, sering kali membuat lelucon untuk mencairkan suasana. Namun, dalam kasus ini, guyonan yang disampaikannya terkait dengan pedagang es teh, yang selama ini dikenal sebagai profesi yang sering dipandang sebelah mata, justru menimbulkan kontroversi. Banyak yang mempertanyakan apakah ucapan tersebut telah melampaui batas, merendahkan martabat profesi pedagang, dan bahkan memperkuat stigma sosial terhadap orang-orang yang bekerja di sektor informal.
Pedagang es teh, seperti halnya pedagang kaki lima lainnya, adalah bagian dari lapisan masyarakat yang sering kali dipandang remeh. Mereka bekerja keras setiap hari, berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya dengan cara yang sederhana namun penuh dedikasi. Mengolok profesi mereka, meskipun dalam konteks humor, bisa dianggap sebagai penghinaan terhadap kerja keras mereka. Hal ini tentunya memperburuk kesan bahwa profesi ini bukanlah pekerjaan yang layak dihargai. Padahal, tanpa mereka, banyak aspek kehidupan sehari-hari kita, seperti kesempatan untuk menikmati minuman segar di tengah terik matahari, tidak akan ada.
Penting untuk diingat bahwa humor yang melibatkan orang lain, terutama yang berasal dari kelompok masyarakat yang rentan, harus dilakukan dengan hati-hati. Seorang tokoh agama seperti Gus Miftah seharusnya lebih bijaksana dalam memilih kata-kata, mengingat pengaruh besar yang dimilikinya terhadap audiens, terutama kaum muda yang sangat terhubung dengan dunia digital. Sebagai seorang ulama, Gus Miftah memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi panutan dalam bersikap dan berucap, serta menghargai setiap profesi tanpa memandang status sosial.
Reaksi publik terhadap kejadian ini juga menunjukkan bagaimana masyarakat kita semakin kritis terhadap tindakan yang merendahkan atau menghina kelompok tertentu. Ini adalah indikasi positif bahwa kesadaran sosial tentang pentingnya menghargai pekerjaan dan profesi orang lain semakin berkembang. Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai dasar dalam berinteraksi dengan sesama, yakni saling menghargai dan menghormati tanpa melihat latar belakang atau status sosial.
Di sisi lain, kejadian ini juga membuka peluang untuk dialog yang lebih luas mengenai penghargaan terhadap pekerjaan di sektor informal. Mengapa profesi pedagang kaki lima sering kali dipandang sebelah mata? Apa yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya profesi ini dalam perekonomian kita? Dengan membicarakan isu ini, kita tidak hanya mengkritik tindakan Gus Miftah, tetapi juga menciptakan ruang bagi masyarakat untuk lebih memahami dan menghargai sesama.
Secara keseluruhan, meskipun niat Gus Miftah mungkin tidak untuk merendahkan, peristiwa ini mengingatkan kita tentang pentingnya tanggung jawab sosial yang dimiliki oleh figur publik. Dalam setiap lelucon atau kritik yang kita sampaikan, kita harus selalu mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain, terutama mereka yang mungkin lebih rentan. Mengolok profesi tertentu bukan hanya merendahkan individu, tetapi juga memperburuk stigma yang sudah ada dalam masyarakat kita. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk lebih berhati-hati dan bijaksana dalam berbicara, terutama di hadapan publik.
Social Footer